Kamis, 15 April 2010

Deklarasi Juanda

Bahan Kuliah Hukum Laut Internasional
1. Deklarasi Djuanda


Konvensi Hukum Laut ██ menyetujui ██ menandatangani, tetapi belum menyetujui
Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan jaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km². Dengan perhitungan 196 garis batas lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar, terciptalah garis maya batas mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut.
Setelah melalui perjuangan yang penjang, deklarasi ini pada tahun 1982 akhirnya dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya delarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.
Pada tahun 1999, Presiden Soeharto mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara. Penetapan hari ini dipertegas dengan terbitnya Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001, sehingga tanggal 13 Desember resmi menjadi hari perayaan nasional.
2. Wawasan Nusantara
Latar belakang dan proses terbentuknya wawasan nusantara setiap bangsa
Salah satu persyaratan mutlak harus dimiliki oleh sebuah negara adalah wilayah kedaulatan, di samping rakyat dan pemerintahan yang diakui. Konsep dasar wilayah negara kepulauan telah diletakkan melalui Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Deklarasi tersebut memiliki nilai sangat strategis bagi bangsa Indonesia, karena telah melahirkan konsep Wawasan Nusantara yang menyatukan wilayah Indonesia. Laut Nusantara bukan lagi sebagai pemisah, akan tetapi sebagai pemersatu bangsa Indonesia yang disikapi sebagai wilayah kedaulatan mutlak Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada bangsa yang secara eksplisit mempunyai cara bagaimana ia memandang tanah airnya beserta lingkungannya. Cara pandang itu biasa dinamakan wawasan nasional. Sebagai contoh, Inggris dengan pandangan nasionalnya berbunyi: "Brittain rules the waves". Ini berarti tanah Inggris bukan hanya sebatas pulaunya, tetapi juga lautnya.
Tetapi cukup banyak juga negara yang tidak mempunyai wawasan, seperti: Thailand, Perancis, Myanmar dan sebagainya. Indonesia wawasan nasionalnya adalah wawasan nusantara yang disingkat wasantara. Wasantara ialah cara pandang bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 tentang diri dan lingkungannya dalam eksistensinya yang sarwa nusantara dan penekanannya dalam mengekspresikan diri sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah lingkungannya yang sarwa nusantara itu. Unsur-unsur dasar wasantara itu ialah: wadah (contour atau organisasi), isi, dan tata laku. Dari wadah dan isi wasantara itu, tampak adanya bidang-bidang usaha untuk mencapai kesatuan dan keserasian dalam bidang-bidang:
Satu kesatuan wilayah
Satu kesatuan bangsa
Satu kesatuan budaya
Satu kesatuan ekonomi
Satu kesatuan hankam.
Jelaslah disini bahwa wasantara adalah pengejawantahan falsafah Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah negara Republik Indonesia. Kelengkapan dan keutuhan pelaksanaan wasantara akan terwujud dalam terselenggaranya ketahanan nasional Indonesia yang senantiasa harus ditingkatkan sesuai dengan tuntutan zaman. Ketahanan nasional itu akan dapat meningkat jika ada pembangunan yang meningkat, dalam "koridor" wasantara.
Konsep geopolitik dan geostrategi
Bila diperhatikan lebih jauh kepulauan Indonesia yang duapertiga wilayahnya adalah laut membentang ke utara dengan pusatnya di pulau Jawa membentuk gambaran kipas. Sebagai satu kesatuan negara kepulauan, secara konseptual, geopolitik Indonesia dituangkan dalam salah satu doktrin nasional yang disebut Wawasan Nusantara dan politik luar negeri bebas aktif. , sedangkan geostrategi Indonesia diwujudkan melalui konsep Ketahanan Nasional yang bertumbuh pada perwujudan kesatuan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Dengan mengacu pada kondisi geografi bercirikan maritim, maka diperlukan strategi besar (grand strategy) maritim sejalan dengan doktrin pertahanan defensif aktif dan fakta bahwa bagian terluar wilayah yang harus dipertahankan adalah laut. Implementasi dari strategi maritim adalah mewujudkan kekuatan maritim (maritime power) yang dapat menjamin kedaulatan dan integritas wilayah dari berbagai ancaman.
Wawasan nusantara sebagai geopolitik Indonesia
Nusantara (archipelagic) dipahami sebagai konsep kewilayahan nasional dengan penekanan bahwa wilayah negara Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang dihubungkan oleh laut. Laut yang menghubungkan dan mempersatukan pulau-pulau yang tersebar di seantero khatulistiwa. Sedangkan Wawasan Nusantara adalah konsep politik bangsa Indonesia yang memandang Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah, meliputi tanah (darat), air (laut) termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya dan udara di atasnya secara tidak terpisahkan, yang menyatukan bangsa dan negara secara utuh menyeluruh mencakup segenap bidang kehidupan nasional yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam. Wawasan Nusantara sebagai konsepsi politik dan kenegaraan yang merupakan manifestasi pemikiran politik bangsa Indonesia telah ditegaskan dalam GBHN dengan Tap. MPR No.IV tahun 1973. Penetapan ini merupakan tahapan akhir perkembangan konsepsi negara kepulauan yang telah diperjuangkan sejak Dekrarasi Juanda tanggal 13 Desember 1957.
Pengertian dan hakekat wawasan nusantara
Wawasan Nusantara adalah cara pandang Bangsa Indonesia terhadap rakyat, bangsa dan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi darat, laut dan udara di atasnya sebagai satu kesatuan Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya dan Pertahanan Keamanan.


Penyelesaian Batas Maritim NKRI
Oleh JOENIL KAHAR
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0104/03/0801.htm
DALAM suatu negara, wilayah adalah salah satu unsur utama, selain dari dua unsur lainnya, yaitu rakyat dan pemerintah. Oleh karena itu, adanya wilayah dalam suatu negara ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Suatu negara yang punya sistem pemerintahan negara yang beberapa kewenangannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah, wilayah pemerintahan daerah juga ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam UUD 1945 yang asli tidak tercatum pasal mengenai "Wilayah Negara Republik Indonesia". Namun demikian, pada umumnya kita sepakat bahwa ketika para pendiri negara ini memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, wilayah negara Republik Indonesia punya cakupan wilayah Hindia Belanda. Oleh karena itu, wilayah negara Republik Indonesia merupakan wilayah yang mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teriroriale Zeen en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939), pulau-pulau di wilayah ini dipisahkan oleh laut di sekelilingnya. Dalam ordonansi ini setiap pulau hanya punya laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing dengan leluasa dapat melayari laut yang mengelilingi atau yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Pemerintah Indonesia menyadari bahwa sebagai kesatuan wilayah Indonesia hal ini sangat merugikan bangsa Indonesia sehingga pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah Indonesia yang waktu itu dipimpin oleh Ir. Djuanda mengeluarkan pengumuman pemerintah yang dikenal dengan Deklarasi Djuanda yang menyatakan bahwa negara Republik Indonesia merupakan negara kepulauan (Archipelagic State). Pada dasarnya konsep deklarasi ini menyatakan bahwa semua laut/perairan di antara pulau-pulau Indonesia tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena laut antarpulau merupakan laut penghubung dan satu kesatuan dengan pulau-pulau tersebut.
Batas wilayah negara Indonesia adalah 12 mil dari garis pantai pulau-pulau terluar. Indonesia punya wewenang untuk mengelola daerah kedaulatannya yang punya batas wilayah 12 mil dari garis pantai pulau-pulau terluar tersebut. Termasuk kewenangan ini ruang udara di atasnya, dasar laut (sea bed) dan tanah di bawah dasar laut (sub soil), serta semua sumber daya maritim baik yang hidup maupun yang tidak. Tanggal 13 Desember 1957 ini kemudian menjadi tonggak sejarah Kelautan Indonesia yang kemudian dikenal dengan Wawasan Nusantara. Deklarasi ini diratifikasi melalui UU No. 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia.
Bangsa Indonesia patut bangga karena berasal dari Deklarasi Djuanda tersebut, sebagian besar hasil perjuangan bangsa Indonesia mengenai hukum laut internasional tercantum dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang dikenal dengan United Nations Convension on the Law of the Sea (UNCLOS) yang ketiga tahun 1982 yang selanjutnya disebut Hukum Laut (Hukla) 1982. Pemerintah Indonesia meratifikasi HUKLA 1982 dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 1985.
Upaya mencantumkan Wilayah Negara Republik Indonesia dalam UUD 1945 diawali dari perubahan kedua dan terus berlanjut sampai pada perubahan keempat UUD 1945. Maka, dalam Bab IX A tentang Wilayah Negara pada Pasal 25A tercantum Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.
"Negara kepulauan berciri Nusantara" punya arti bahwa negara kepulauan yang dimaksud terletak di antara dua benua dan dua samudra, Benua Asia dan Australia, serta Samudra Hindia dan Pasifik. Jadi, pernyataan "sebuah negara kepulauan yang beciri Nusantara dan berbentuk negara kesatuan dan republik" sudah menunjukkan di mana lokasi geografis negara kesatuan yang berbentuk republik itu yang lengkapnya disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya dalam pasal tersebut dinyatakan "dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang". Pernyataan ini punya makna bahwa NKRI yang merupakan negara kepulauan wajib menetapkan batas teritorial wilayahnya baik wilayah darat dan laut.
Batas dan hak wilayah laut menurut Hukla 1982
Karena NKRI merupakan negara kepulauan, batas di wilayah laut mengacu kepada UNCLOS 82/HUKLA 82 yang telah diratifikasi dengan UU No. 17 Tahun 1985. Oleh karena itu, Indonesia harus mengkaji dan menetapkan antara lain batas laut teritorial, batas zona tambahan (contiguous zone), batas zona ekonomi ekslusiv (ZEE), batas landas kontinen (continental shelf).
Hak-hak, kewajiban, dan wewenang di dalam batas teritorial wilayah laut NKRI akan berbeda dengan hak-hak dan wewenang di luar batas teritorial, tetapi terletak di dalam batas ZEE dan batas landas kontinen. Berdasarkan Hukla, batas laut teritorial sejauh maksimum 12 mil laut dari garis pantai, sedangkan garis pantai didefinisikan sebagai muka laut terendah. Jika dua negara bertetangga punya jarak antara garis pantainya kurang dari 24 mil laut, batas teritorial antardua negara tersebut adalah garis median. Garis median yaitu garis yang punya jarak yang sama (equidistance) dengan garis pantai dari negara bertetangga tersebut. Sementara itu, yang dimaksud dengan panjang 1 mil laut sama dengan 1852 meter. Dalam wilayah laut teritorial berlaku hak-hak dan kewajiban dalam wilayah kedaulatan NKRI.
Batas laut teritorial diukur berdasarkan garis pangkal yang menghubungkan titik-titik dasar bertempat di pantai terluar dari pulau-pulau terluar wilayah NKRI. Pengukuran ini merupakan aspek teknis yang dilakukan oleh tenaga ahli geodesi yang mengerti tentang aspek legal dari penetapan batas. Jadi, dalam penetapan batas sangat diperlukan keterpaduan aspek teknis dan legal. Untuk mendukung hal itu, sangat diperlukan informasi kewilayahan NKRI seperti informasi pulau-pulau terluar beserta nama-namanya.
Dapat dipahami bahwa UUD 1945 (asli) yang dikeluarkan setelah proklamasi kemerdekaan belumlah sempurna, seperti belum tercantumnya wilayah negara. Kira-kira lima tahun bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan sehingga tahun 1950 mulailah bangsa Indonesia menata negara dengan sistem pemerintahan yang disepakati pada waktu itu. Setelah tujuh tahun bangsa hidup dalam penataan negara secara normal, berdampingan, sejajar, dan sama tinggi dengan negara-negara lain barulah satu tonggak sejarah tentang wilayah negara diumumkan, yaitu pada tanggal 13 Desember 1957. Setelah 46 tahun Deklarasi Djuanda itu sudah sejauh mana Indonesia dapat menyelesaikan batas-batas di laut terutama batas laut teritorial.
Dinamika penetapan batas wilayah negara
Dinamika penetapan batas wilayah negara perlu kita simak. Deklarasi Djuanda diratifikasi melalui UU No. 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Dalam UU ini dicantumkan koordinat geografis titik-titik dasar pantai terluar dari pulau terluar di wilayah negara. Pulau-pulau Sipadan (kl. 10,4 ha) dan Ligitan (kl. 7,9 ha) tidak termasuk daftar pulau terluar. Pada tanggal 8 Agustus 1996 diterbitkan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang isinya sangat umum, yaitu menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan Hukla 82 (yang telah diratifikasi dengan UU No. 17 Tahun 1985 dan menyatakan bahwa UU No. 4/PRP/1960 tentang Perairan tidak berlaku lagi. Daftar koordinat titik-titik dasar pantai terluar dari pulau terluar tidak tercantum dalam UU No. 6 Tahun 1996 ini.
Jadi, secara legal, wilayah negara menjadi tidak jelas. Pada tanggal 16 Juni 1998 dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1998 tentang Koordinat Geografis Titik Dasar Kepulauan di Laut Nusantara. Dengan menganggap bahwa semua titik pangkal lengkap dengan koordinat geografisnya yang tercantum pada Undang-Undang No. 4/PRP/1960 masih berlaku, artinya semangat Deklarasi Djuanda yang menjiwai UU No. 4/PRP/1960, PP No. 61 Tahun 1998 ini adalah upaya bangsa Indonesia menutup kantong Natuna yang masih terdapat dalam UU No. 4/PRP/1960. Pada tanggal 28 Juni 2002 keluar PP No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Dalam PP No. 38/2002 ini dicantumkan titik pangkal di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Dengan keluarnya keputusan Mahkamah Internasional tentang kasus Sipadan dan Ligitan, PP No. 38/2002 ini perlu dicabut dan segera diganti dengan yang baru.
Hal mengenai wilayah negara tercantum pada UUD 1945 pada perubahan kedua UUD 1945 Bab IX A pasal 25E yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000 yang kemudian berubah menjadi pasal 25 A pada perubahan keempat UUD 1945 yang ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 yang bunyinya sudah disampaikan di awal tulisan ini.
Peran perguruan tinggi
Dengan inisiatif para pakar penetapan batas dari Universitas Padjadjaran (Unpad) dari aspek legal dan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dari aspek teknis pada awal tahun 2003 dibentuk Forum Kajian Kewilayahan NKRI. Pada tanggal 15 Februari 2003 forum ini menyelenggarakan Diskusi Panel bertema "Reaktualisasi Wawasan Nusantara Dalam Persektif Kesatuan Wilayah Negara Republik Indonesia" di Unpad yang dengan sponsor utama Lembaga Penelitian Unpad.
Sebagai lanjutannya pada tanggal 15 Desember 2003, dalam rangka 46 tahun Deklarasi Djuanda diselenggarakan workshop dengan tema "Status, Realisasi, dan Permasalahan Penataan Batas Maritim Indonesia dengan Negara Tetangga, Kasus Batas RI-Singapura" yang penyelengaraannya berdasarkan kerja sama antara Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) ITB dengan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Pertemuan yang diselenggarakan di Unpad dan ITB pada awal dan akhir tahun 2003 ini menyatakan perlunya kejelasan dalam masalah kelembagaan dalam penetapan batas wilayah negara. Penetapan batas wilayah negara adalah kerja sama antara Departeman Dalam Negeri, Departemen Pertahanan, TNI, Bakosurtanal, dan departemen lainnya yang terkait. Semoga dengan tetap dalam semangat Deklarasi Djuanda penetapan batas-batas maritim kepulauan Indonesia segera terselesaikan. ***


Visi Maritim Indonesia: Apa Masalahnya?
03 Aug 2005 09:33:13
Sarwono Kusumaatmadja
http://www.sarwono.net/analisispol.php?id=24

KETIKA Republik Indonesia diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, wilayah negara adalah tinggalan Hindia Belanda, dan belum menjadi negara kepulauan. Menurut Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939, maka batas laut teritorial Indonesia adalah 3 mil laut dari pantai. Dengan demikian maka perairan antar pulau pada waktu itu adalah wilayah internasional. Wilayah laut kita dengan rezim hukum laut seperti disebut di atas hanyalah seluas kira-kira 100.000 km2. Secara fisik pulau-pulau Indonesia dipisahkan oleh laut, walaupun secara kultur konsep kewilayahan kita tidak membedakan penguasaan antara laut dan darat. Bangsa Indonesia adalah satu-satunya bangsa di dunia yang menamakan wilayahnya sebagai tanah air.


Pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah RI melalui deklarasi Perdana Menteri Ir. Djuanda mengklaim seluruh perairan antar pulau di Indonesia sebagai wilayah nasional. Deklarasi di atas yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda, adalah pernyataan jati diri sebagai negara kepulauan, di mana laut menjadi penghubung antar pulau, bukan pemisah. Klaim ini bersamaan dengan upaya memperpanjang batas laut teritorial menjadi 12 mil dari pantai, kemudian diperjuangkan oleh Indonesia untuk mendapat pengakuan internasional di PBB, suatu perjuangan panjang yang meliwati 3 rezim politik yang berbeda yaitu Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru.

Kendati prinsip negara kepulauan mendapat tentangan dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat, akhirnya pada tahun 1982 lahirlah Konvensi kedua PBB tentang Hukum Laut (2nd United Nations Convention on the Law of the Sea, disingkat UNCLOS) yang mengakui konsep negara kepulauan, sekaligus juga mengakui konsep Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang diperjuangkan oleh Chili dan negara-negara Amerika Latin lainnya. Setelah diratifikasi oleh 60 negara maka UNCLOS kemudian resmi berlaku pada tahun 1994. Berkat perjuangan yang gigih dan memakan waktu, Indonesia mendapat pengakuan dunia atas tambahan wilayah nasional sebesar 3,1 juta km2 wilayah perairan dari hanya 100.000 km2 warisan Hindia Belanda, ditambah dengan 2,7 juta km2 Zone Ekonomi Eksklusif yaitu bagian perairan internasional dimana Indonesia mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya alam termasuk yang ada di dasar laut dan di bawahnya.

Konsep Negara Kepulauan (Nusantara) memberikan kita anugerah yang luar biasa. Letak geografis kita strategis, di antara dua benua dan dua samudra dimana paling tidak 70% angkutan barang melalui laut dari Eropa, Timur Tengah dan Asia Selatan ke wilayah Pasifik, dan sebaliknya, harus melalui perairan kita. Wilayah laut yang demikian luas dengan 17.500-an pulau-pulau yang mayoritas kecil memberikan akses pada sumber daya alam seperti ikan, terumbu karang dengan kekayaan biologi yang bernilai ekonomi tinggi, wilayah wisata bahari, sumber energi terbarukan maupun minyak dan gas bumi, mineral langka dan juga media perhubungan antar pulau yang sangat ekonomis.

Panjang pantai 81.000 km (kedua terpanjang di dunia setelah Canada ) merupakan wilayah pesisir dengan ekosistem yang secara biologis sangat kaya dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Secara metereologis, perairan nusantara menyimpan berbagai data metrologi maritim yang amat vital dalam menentukan tingkat akurasi perkiraan iklim global. Di perairan kita terdapat gejala alam yang dinamakan Arus Laut Indonesia (Arlindo) atau the Indonesian throughflow yaitu arus laut besar yang permanen masuk ke perairan Nusantara dari samudra Pasifik yang mempunyai pengaruh besar pada pola migrasi ikan pelagis dan pembiakannya dan juga pengaruh besar pada iklim benua Australia.

SAYANGNYA keuntungan yang luar biasa di atas sebagai konsekuensi jati diri bangsa nusantara tidak disertai dengan kesadaran dan kapasitas yang sepadan. Bangsa Indonesia masih mengidap kerancuan identitas. Di satu pihak mempunyai persepsi kewilayahan tanah air, tetapi memposisikan diri secara kultural sebagai bangsa agraris dengan puluhan juta petani miskin yang tidak sanggup kita sejahterakan, sedangkan kegiatan industri modern sulit berkompetisi dengan bangsa lain, antara lain karena budaya kerja yang berkultur agrarian konservatif, disamping berbagai inefisiensi birokrasi dan korupsi. Industri pun kita bangun tidak berdasar pada keunggulan kompetitif namun pada keunggulan komparatif, tanpa kedalaman struktur dan tanpa masukan keilmuan dan teknologi yang kuat. Tradisi kepelautan kita dinyatakan dengan kemampuan melayari Samudra Pasifik dengan kapal Pinisi Nusantara dan selamat sampai Vancouver, tapi kapal yang sama pecah dan tenggelam menabrak karang di Kepulauan Seribu dalam perjalanan lokal yang sederhana.

Di zaman Bung Karno Angkatan Laut kita pernah menjadi keempat terbesar di dunia setelah Amerika Serikat, Uni Soviet dan Iran. Tetapi kekuatan itu tidak riel dan hanya temporer karena tidak dibangun atas kemampuan sendiri, namun karena bantuan Uni Soviet dalam kerangka permainan geopolitik.

Selama itu, berbagai rencana di bidang kelautan dan kemaritiman dibuat dan dideklarasikan namun kelembagaan kelautan, pembangunan perekonomian maritim dan pembangunan sumber daya manusia tidak pernah dijadikan arus utama pembangunan nasional, yang didominasi oleh persepsi dan kepentingan daratan semata. Dewan Kelautan Nasional memang dibuat tetapi dengan mandat terbatas dan menduduki hirarki yang tidak signifikan dalam kelembagaan pemerintahan.

Segala paradoks tadi terus menerus memunculkan gugatan demi gugatan yang makin nyaring dari masyarakat kelautan kita yang kemudian menciptakan kelembagaan berupa Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 1999 dan juga Dewan Maritim Indonesia pada tahun yang sama, dengan ruang lingkup tugas yang lebih luas dibandingkan dengan Dewan Kelautan Nasional di zaman Orde Baru.

Mudah-mudahan era presidensi Susilo Bambang Yudhoyono merupakan titik balik menentukan dalam kehidupan maritim kita. Melalui Inpres 5 tahun 2005 “asas cabotage” dihidupkan kembali. [“asas cabotage” adalah prinsip hukum yang dianut oleh sebagian besar negara maritim dunia yang menyatakan bahwa angkutan di dalam suatu negara hanya dapat diangkut oleh kapal yang berbendera dari negara yang bersangkutan —Red]. Demikian juga otoritas moneter telah menetapkan kapal sebagai benda yang boleh diagunkan. Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) sedang dalam penyusunan termasuk visi maritim didalamnya, seiring dengan langkah-langkah konkrit lanjutan menyangkut industri strategis dan kelembagaan pelabuhan.

Perlu diterangkan bahwa antara istilah kelautan dan maritim harus dibedakan. Kelautan merujuk kepada laut sebagai wilayah geopolitik maupun wilayah sumber daya alam, sedangkan maritim merujuk pada kegiatan ekonomi yang terkait dengan perkapalan, baik armada niaga maupun militer, serta kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan itu seperti industri maritim dan pelabuhan. Dengan demikian kebijakan kelautan merupakan dasar bagi kebijakan maritim sebagai aspek aplikatifnya.

Terlepas dari rumusan final visi maritim Indonesia, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Antara lain, pertama, negara perlu mempunyai kebijakan kelautan yang jelas dan bervisi ke depan karena menyangkut geopolitik bangsa dan dengan demikian berwawasan global dan menyangkut pula kebijakan-kebijakan dasar tentang pengelolaan sumber daya alam di samping sumber daya ekonomi pada umumnya. Demi daya saing bangsa kita perlu berangkat dari keunggulan kompetitif yang bisa berbasis lokal.

Kedua, kebijakan kelautan adalah kebijakan negara kepulauan sehingga variabel keruangan harus lengkap, tidak hanya monodimensional laut. Konsep tri-matra (darat-laut-udara), karena kemajuan ilmu dan teknologi serta peningkatan kesadaran lingkungan hidup menjadi tidak lengkap untuk sekarang dan masa depan. Yang lebih mengena adalah variabel multi-matra (darat termasuk pegunungan; permukaan air dari mata air di hulu sampai permukaan laut; kolom air di sungai, danau maupun laut; pesisir; dasar laut; bawah dasar laut; atmosfir; stratosfir dan angkasa luar), jumlahnya 9 matra. Sejak Presiden Soeharto meluncurkan satelit Palapa pada dekade 1970-an sebenarnya kita telah masuk ke era ruang angkasa, tidak sekedar tri-matra, demikian juga sekarang ketika kita mulai merentang kabel telekomunikasi bawah laut, masuk ke matra dasar laut. Tetapi tetap saja kita menggunakan tri-matra sebagai acuan keruangan, mungkin karena terlanjur menjadi manusia penghafal.

Sesuai kemampuan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik yang lebih kompleks, serta kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi tentunya variabel keruangan bisa dikembangkan. Dengan demikian kebijakan kelautan bukanlah pengganti kebijakan masa lampau yang terkesan kuat dominan berorientasi daratan.

Ketiga, hirarki ruang juga perlu ditentukan, yaitu ruang di mana kita berdaulat penuh, ruang di mana kita punya hak berdaulat, dan ruang di mana kita perlu punya pengaruh baik eksklusif maupun melalui kerjasama politik, ekonomi dan pertahanan.

Keempat, pemerintah perlu menuntaskan seluruh kewajiban yang tercantum dalam UNCLOS, karena penting artinya bagi effektifitas kedaulatan kita. Adalah ironis bahwa Indonesia sebagai pelopor konsep negara kepulauan lantas nantinya tertinggal dalam pengamanan kedaulatan wilayahnya. Sekiranya hal ini terjadi maka posisi kita secara geopolitik akan lemah, serta memicu berbagai sengketa di wilayah laut yang sulit kita atasi, apalagi dengan kekuatan militer maritim yang demikian kecil. Peristiwa Sipadan/Ligitan dan peristiwa Ambalat merupakan peringatan dini terhadap kemungkinan masalah lebih besar di kemudian hari.

Kelima, kalau semua hal di atas sudah jelas arahnya, maka visi maritim dapat dibangun dan kekuatan maritim dapat dibangkitkan sepadan dengan tuntutan geopolitik bangsa dan sesuai dengan persepsi keruangan kita dan juga persepsi tentang keunggulan kompetitif baik yang berbasis sumber daya alam, budaya, ilmu pengetahuan maupun geografi. Kebijakan perkapalan, pelabuhan, transportasi antar matra, prioritas kegiatan ekonomi, pembangunan angkatan bersenjata (militer dan polisi), kebijakan fiskal, kebijakan investasi, kebijakan enersi, kebijakan dirgantara, kebijakan pembangunan daerah dan kawasan serta tatanan kelembagaan dan kebijakan pembangunan sumber daya manusia merupakan turunan dari visi maritim dan visi maritim juga adalah turunan dari kebijakan kelautan.

SETELAH semua itu selesai dan dirumuskan secara baik, kita mempunyai soal berikut, yaitu mewujudkannya dalam implementasi. Banyak hal yang mempengaruhi implementasi visi dan kebijakan maritim namun akar masalahnya berada dalam budaya agraris tradisional yang kita warisi.

Masyarakat agraris tradisional di pedalaman cenderung statis, introvert dan feodal. Berlainan dengan budaya pesisir yang lebih terbuka dan egaliter serta biasa memanfatkan pengaruh luar karena interaksi niaga antar bangsa. Komunitas pesisir menjadi lemah di masa lampau karena tidak adanya persepsi bersama menghadapi merkantilisme Eropa sehingga kerajaan-kerajaan pesisir hancur ditaklukkan, menghadapi tekanan dari kolonialisme dan juga serangan dari pedalaman. Dengan demikian budaya yang dominan adalah budaya agraris tradisional, yang antara lain ditandai sampai sekarang oleh kebiasaan mayoritas anak-anak menggambar gunung, sawah dan matahari dan nyaris tidak penah menggambar pemandangan pantai dan laut.


Mentalitas yang demikian tercermin pada orientasi pendidikan kita, yang cenderung melatih orang untuk menghafal (statis), dengan ketaatan di luar batas pada guru (feodal) dan kebiasaan guru untuk tidak terbuka dan tidak murah hati dalam mentransfer ilmu (introvert). Dengan kultur demikian sulit bagi bangsa kita untuk berubah maju atas kehendak sendiri. Perubahan selalu terjadi karena pengaruh eksternal yang tak tertahankan. Seringkali yang ditiru hanyalah tampak luarnya bukan esensinya.

Visi dan program maritim hanya bisa sukses secara berkelanjutan jika terdapat basis kultur yang terbuka, egaliter, haus pengetahuan dan menyukai tantangan perubahan. Pada jangka pendeknya program maritim bisa berjalan dengan merekrut kalangan pengambil keputusan dan para pelaku utama dari kalangan yang mempunyai kultur itu. Bisa juga dengan mengundang investasi asing dari pihak yang lebih maju dalam hal di mana tidak terdapat kemampuan modal dan pengetahuan dalam bidang-bidang tertentu. Tetapi pada jangka panjangnya yang diperlukan adalah perubahan orientasi pendidikan, ke arah rasionalitas ilmu pengetahuan dan teknologi, kesadaran akan sumber-sumber keunggulan kompetitif, kepekaaan budaya, kedalaman budi pekerti dan penanaman sifat menyikapi tantangan perubahan secara positif.

Untuk menggambarkan betapa kita tidak siap menanggapi perubahan adalah tiadanya antisipasi terhadap kemungkinan rencana Thailand untuk membuat kanal di semenanjung Kra, yang pembangunannya bisa selesai kurang dari 10 tahun. Sekarang Thailand sedang berpikir keras apakah mereka akan melanjutkan rencana tersebut. Sekiranya mereka membuatnya, adanya kanal tersebut tentu amat mengurangi volume transportasi laut yang melalui perairan nusantara.

Sepintas lalu Singapura akan terpukul. Tetapi jangan lupa bahwa Singapura selalu merencanakan dirinya berada di depan peristiwa. Mereka tidak perlu hanya mempertahankan keunggulannya sebagai pusat pelayanan perhubungan laut. Mereka berencana menjadikan Singapura sebagai pusat budaya dan pusat jasa bernilai tinggi sehingga corak ekonominya akan lebih canggih dan kehidupannya lebih menarik, bukan seperti Singapura sekarang yang amat tertib, effisien tapi membosankan.

Menteri Luar Negeri Singapura di masa lalu, Rajaratnam pernah mengatakan bahwa “Kami di Singapura harus selalu berusaha maju setengah langkah melebihi negara-negara tetangga kami'” Para ahli geografi ekonomi dapat memperkirakan ke arah mana pusat pertumbuhan ekonomi regional Pasifik bergerak sekiranya kanal Kra menjadi kenyataan, tapi rasanya tidak pernah terdengar apakah kita mempunyai skenario tertentu.

Pembangunan kanal Kra belum tentu merugikan Indonesia selama kita membangun kekuatan ekonomi maritim sejalan dengan dinamika perubahan. Sekiranya kita pintar menjalin interdependensi ekonomi antar wilayah dan selama kita lebih tergantung satu sama lain di antara kita, lebih kuat dari ketergantungan eksternal, maka keutuhan bangsa dan negara akan senantiasa terjamin.

Dengan kekayaan sumber daya alam yang juga sekaligus unik, sekiranya kita punya komitmen kuat untuk membangun ekonomi berdaya saing, kita bisa menciptakan pasaran dalam negeri yang besar dengan jumlah orang yang nantinya melebihi 250 juta, serta masih punya peluang berperan dalam ekonomi global. Masalahnya, sudahkah kita berpikir dan bergerak ke sana?

SAAT ini kita kedatangan tamu dari India yaitu kapal induk Angkatan Laut India INS Virat sebagai tamu TNI AL. Berlainan dengan TNI AL yang puncak kebesarannya di tahun 1960-an didongkrak oleh bantuan Uni Soviet dalam rangka geopolitik, kekuatan militer India sepenuhnya lahir dari kemampuan industri srategiknya yang sudah lama dibangun sejak awal kemerdekaannya.

AL India dibesarkan supaya “Kekuatan angkatan laut kami sepadan dengan kemajuan-kemajuan pesat India di bidang ekonomi”, demikian kira-kira bunyi pernyataan Panglima Armada Timur India. Bisa diduga bahwa India melalui AL-nya bermaksud menjadikan Lautan Hindia sebagai wilayah pengaruhnya, mungkin tidak sendirian, tetapi bersama-sama dengan Amerika Serikat. Indikasi ini terlihat dari sikap lunak Amerika Serikat terhadap pengembangan teknologi nuklir India.

Dari contoh India kita mendapat penegasan akan keharusan memperkuat bukan saja armada niaga sesuai “asas cabotage”, tetapi juga memperkuat TNI AL karena di samping menyandang fungsi pertahanan, di manapun juga angkatan laut mempunyai fungsi memproyeksikan kehadiran negara dan fungsi diplomasi, terlebih lagi karena status kita sebagai negara kepulauan mengharuskan kehadiran negara di wilayah perbatasan laut yang begitu luas.

Indonesia berada ditengah kehadiran negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Australia, India dan Cina yang walaupun bukan negara kepulauan, namun sudah punya visi dan kebijakan maritim, serta negara kecil seperti Singapura yang akan meraup keuntungan ekonomi dari perkembangan itu, dan Thailand yang juga melakukan hal yang sama.

Jadi apa yang menjadi masalah bagi visi maritim Indonesia? Masalahnya adalah bahwa kita harus menuntaskan jati diri bangsa sebagai penghuni negara kepulauan, dan perlu mempunyai visi dan strategi yang cerdas dan kreatif untuk keluar dari paradigma agraris tradisional ke arah paradigma maritim yang rasional dan berwawasan global. Bukan karena ingin menjadi negara superpower tetapi demi kesejahteraan rakyat dan harga diri serta keamanan bangsa.

Bukan beralih ke laut karena sudah terlalu banyak problem di darat seperti pengurasan sumber daya alam dan involusi pertanian, namun karena ingin mengintegrasikan sumber daya terestial dengan sumber daya perairan untuk mencapai nilai ekonomi tertinggi.

*) Tulisan ini dibuat tanggal 1 Agustus 2005 berdasarkan ceramah lisan untuk perwira siswa Angkatan XLIII pada tanggal 27 Juli 2005 di SESKOAL, Jakarta.



































United Nations Convention on the Law of the Sea

Opened for signature
December 10, 1982 in Montego Bay (Jamaica)

Entered into force
November 16, 1994

Conditions for entry into force 60 ratifications
Parties
153
The term United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS, also called simply the Law of the Sea or LOS) refers to several United Nations events and one treaty. The events the term refers to are the (First) United Nations Convention on Law of the Sea, the Second United Nations Convention on Law of the Sea, and the Third United Nations Convention on Law of the Sea. The treaty resulting from the Third United Nations Convention on Law of the Sea also bears the name United Nations Convention on Law of the Sea and is the most recent major development in international law governing the oceans. The treaty provided new universal legal controls for the management of marine natural resources and the control of pollution. Its Secretariat resides within the United Nations Division for Ocean Affairs and the Law of the Sea.
Historical background
The LOS was needed owing to the weakness of the older 'freedom of the seas' concept, dating from the 17th century: national rights were limited to a specified belt of water extending from a nation's coastlines, usually three (3) nautical miles, according to the 'cannon shot' rule developed by the Dutch jurist Cornelius Bynkershoek. All water beyond national boundaries was considered international waters - free to all nations, but belonging to none of them (the mare liberum principle promulgated by Grotius).
Into the 20th century many nations expressed a need to extend national claims, in order to include mineral resources, to protect fish stocks, and to have the means to enforce pollution controls. This was recognized by the League of Nations, and a conference was held in 1930 at the Hague, but did not result in any agreements. One nation that reflected the customary international law principle of a nation's right to protect its natural resources was the United States, when in 1945 President Truman extended his nation's control, to cover all the natural resources of their continental shelf. Other nations were quick to emulate the USA. Between 1946 and 1950, Argentina, Chile, Peru, and Ecuador all extended their sovereign rights to a 200 nautical miles distance—so as to cover their Humboldt Current fishing grounds. Other nations extended their territorial seas to 12 nautical miles.
By 1967 only 25 nations still used the old three nautical miles limit, 66 nations had set a 12 nautical miles territorial limit, and eight had set a 200 nautical miles limit. For the latest table of maritime claims, as compiled by the United Nations, see [3]. According to that table, as of June 30, 2006, only a handful of countries use the old 3 miles limit (Jordan, Palau, and Singapore). It is also used in certain Australian islands, an area of Belize, some Japanese straits, certain areas of Papua New Guinea, and a few UK dependencies, such as Anguilla.
UNCLOS I
In 1956, the United Nations held its first Conference on the Law of the Sea (UNCLOS I) at Geneva, Switzerland. UNCLOS I resulted in four treaties concluded in 1958:
• Convention on the Territorial Sea and Contiguous Zone, entry into force: 10 September 1964
• Convention on the Continental Shelf, entry into force: 10 June 1964
• Convention on the High Seas, entry into force: 30 September 1962
• Convention on Fishing and Conservation of Living Resources of the High Seas, entry into force: 20 March 1966
Although UNCLOS I was considered a success, it left open the important issue of breadth of territorial waters.

UNCLOS II
The United Nations followed this in 1960 with its second Conference on the Law of the Sea (“UNCLOS II”). UNCLOS II did not result in any international agreements. During the six-week conference at Geneva, UNCLOS II did not achieve much. Generally speaking, the developing countries participated only as clients, allies, or dependents of United States or the former Soviet Union; there was no voice for countries of the third world or the developing nations.
UNCLOS III


Sea areas in international rights

The issue of varying claims of territorial waters was raised in the UN in 1967 by Arvid Pardo, of Malta, and in 1973 the Third United Nations Conference on the Law of the Sea was convened in New York to write a new treaty covering the oceans. The conference lasted until 1982 and over 160 nations participated. The conference was conducted under a process of consensus rather than majority vote in an attempt to reduce the possibility of groups of nation-states dominating the negotiations. The convention came into force on November 16, 1994, one year after the sixtieth state, Guyana, signed it.
The convention introduced a number of provisions. The most significant issues covered were setting limits, navigation, archipelagic status and transit regimes, exclusive economic zones (EEZ), continental shelf jurisdiction, deep seabed mining, the exploitation regime, protection of the marine environment, scientific research, and settlement of disputes.
The convention set the limit of various areas, measured from a carefully defined baseline, as follows:
Internal waters
Covers all water and waterways on the landward side of the baseline. The coastal nation is free to set laws, regulate any use, and use any resource. Foreign vessels have no right of passage within internal waters.
Territorial waters
Out to 12 nautical miles from the baseline, the coastal state is free to set laws, regulate any use, and use any resource. Vessels were given the right of "innocent passage" through any territorial waters, with strategic straits allowing the passage of military craft as "transit passage", in that naval vessels are allowed to maintain postures that would be illegal in territorial waters. "Innocent Passage" is defined by the convention as passing through waters in expeditious and continuous manner, which is not “prejudicial to the peace, good order or the security” of the coastal state. Fishing, polluting, weapons practice, spying are not “innocent.” Nations can also temporarily suspend innocent passage in specific areas of their territorial seas, if doing so is essential for the protection of its security.
Contiguous zone
Beyond the 12 nautical mile limit there was a further 12 nautical miles or 24 nautical miles from the territorial sea baselines limit, the contiguous zone", in which area a state could continue to enforce laws regarding activities such as smuggling or illegal immigration.
Exclusive economic zones (EEZ)
Extends 200 nautical miles from the baseline. Within this area, the coastal nation has sole exploitation rights over all natural resources. The EEZ were introduced to halt the increasingly heated clashes over fishing rights, although oil was also becoming important. The success of an offshore oil platform in the Gulf of Mexico in 1947 was soon repeated elsewhere in the world, by 1970 it was technically feasible to operate in waters 4000 metres deep. Foreign nations have the freedom of navigation and overflight, subject to the regulation of the coastal states. Foreign states may also lay submarine pipes and cables.
Archipelagic waters
The convention set the definition of Archipelagic States in Part IV, which also define how the state can draw its territorial borders. A baseline is drawn between the outermost points of the outermost islands, subject to these points being sufficiently close to one another. All waters inside this baseline is described as Archipelagic Waters and are included as part of the state's territory and territorial waters. This baseline is also used to chart its territorial waters 12 nautical miles from the baseline and EEZ 200 nautical miles from the baseline.
Continental Shelf
Continental shelf is defined as natural prolongation of the land territory to the continental margin’s outer edge, or 200 nautical miles from the coastal state’s baseline, whichever is greater. State’s continental shelf may exceed 200 nautical miles until the natural prolongation ends, but it may never exceed 350 nautical miles, or 100 nautical miles beyond 2,500 meter isobath, which is a line connecting the depth of 2,500 meters. States have the right to harvest mineral and non-living material in the subsoil of its continental shelf, to the exclusion of others.
Aside from its provisions defining ocean boundaries, the convention establishes general obligations for safeguarding the marine environment and protecting freedom of scientific research on the high seas, and also creates an innovative legal regime for controlling mineral resource exploitation in deep seabed areas beyond national jurisdiction, through an International Seabed Authority.
Landlocked states are given a right of access to and from the sea, without taxation of traffic through transit states.

Part XI
Part XI of the Convention provides for a regime relating to minerals on the seabed outside any states territorial waters or EEZ. It establishes an International Seabed Authority (ISA) to authorize seabed exploration and mining and collect and distribute the seabed mining royalty.
Signature and ratification


ratified signed, but not yet ratified
Opened for signature - December 10, 1982.
Entered into force - November 16, 1994.
Parties - (153) Albania, Algeria, Angola, Antigua and Barbuda, Argentina, Armenia, Australia, Austria, The Bahamas, Bahrain, Bangladesh, Barbados, Belgium, Belarus, Belize, Benin, Bolivia, Bosnia and Herzegovina, Botswana, Brazil, Brunei, Bulgaria, Burkina Faso, Burma, Cameroon, Canada, Cape Verde, Chile, People's Republic of China, Comoros, Democratic Republic of the Congo, Cook Islands, Costa Rica, Côte d'Ivoire, Croatia, Cuba, Cyprus, Czech Republic, Denmark, Djibouti, Dominica, Egypt, Equatorial Guinea, Estonia, European Union, Fiji, Finland, France, Gabon, The Gambia, Georgia, Germany, Ghana, Greece, Grenada, Guatemala, Guinea, Guinea-Bissau, Guyana, Haiti, Honduras, Hungary, Iceland, India, Indonesia, Iraq, Ireland, Italy, Jamaica, Japan, Jordan, Kenya, Kiribati, South Korea, Kuwait, Laos, Latvia, Lebanon, Lithuania, Luxembourg, Former Yugoslav Republic of Macedonia, Madagascar, Malaysia, Maldives, Mali, Malta, Marshall Islands, Mauritania, Mauritius, Mexico, Federated States of Micronesia, Moldova, Monaco, Mongolia, Montenegro, Mozambique, Namibia, Nauru, Nepal, Netherlands, New Zealand, Nicaragua, Nigeria, Niue, Norway, Oman, Pakistan, Palau, Panama, Papua New Guinea, Paraguay, Philippines, Poland, Portugal, Qatar, Romania, Russia, Saint Kitts and Nevis, Saint Lucia, Saint Vincent and the Grenadines, Samoa, São Tomé and Príncipe, Saudi Arabia, Senegal, Serbia, Seychelles, Sierra Leone, Singapore, Slovakia, Slovenia, Solomon Islands, Somalia, South Africa, Spain, Sri Lanka, Sudan, Suriname, Sweden, Tanzania, Togo, Tonga, Trinidad and Tobago, Tunisia, Tuvalu, Uganda, Ukraine, United Kingdom, Uruguay, Vanuatu, Vietnam, Yemen, Zambia, Zimbabwe.
Countries that have signed, but not yet ratified - (26) Afghanistan, Bhutan, Burundi, Cambodia, Central African Republic, Chad, Colombia, Republic of the Congo, Dominican Republic, El Salvador, Ethiopia, Iran, North Korea, Lesotho, Liberia, Libya, Liechtenstein, Malawi, Morocco, Niger, Rwanda, Swaziland, Switzerland, Thailand, United Arab Emirates, United States.
Countries that have not signed - (17) Andorra, Azerbaijan, Ecuador, Eritrea, Israel, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Peru, San Marino, Syria, Tadjikistan, Timor-Leste, Turkey, Turkmenistan, Uzbekistan, Vatican City, Venezuela.
United States non-ratification
The United States strongly objected to the provisions of Part XI of the treaty, on several grounds. The US felt that the provisions of the treaty were not free market friendly and were designed to favor the economic systems of the Communist states. The US felt that the provisions could potentially result in the ISA receiving large revenues from seabed mining, and that there was insufficient controls over what these revenues could be used for. The US was particularly concerned that these revenues could be given to causes which the US opposed, such as the PLO. It was also concerned that the ISA would become a bloated and expensive bureaucracy even if seabed mining never proved to be economically feasible.
Due to Part XI, the US refused to sign the UNCLOS, although they expressed their agreement with the remaining provisions of the treaty. They also expressed the view that even as not a party, it considered many of the remaining provisions as binding upon the United States as a statement of customary international law which it had accepted.
Debate
"The treaty... would put 70 percent of the Earth's surface under the despot-loving, corrupt and unaccountable "governance" of the United Nations." -Oliver North
"The United States is simply not going to shoot our way to acceptable resolution of oceans disputes with Canada, Chile, Brazil, India, Italy and other democracies." -J. N. Moore and W. L. Schachte
It became clear that the US would not accept the treaty as it stood. It was felt that the treaty would not be successful with such strong opposition from the US. In addition, the fall of the Communism in the late 1980s had removed much of the support for some of the more contentious Part XI provisions. As a result, the United Nations resolved to negotiate an amendment to the treaty to meet the United States' concerns. As a result, the Agreement relating to Part XI was negotiated and agreed upon by the parties to the treaty and the United States. This modified Part XI to remove or soften most of the provisions the US was opposed to. In particular, it limited the size of the ISA bureaucracy and gave the US an effective veto over the dispersal of ISA funds.
Due to the Agreement, the United States government now feels that the UNCLOS (including the modified Part XI provisions) are now acceptable, and no longer opposes ratification. (However, despite this, ratification still has not occurred, due to internal political reasons discussed below.)
Economic libertarians criticize the treaty for creating a tragedy of the commons by designating oceanic resources as the "common heritage of mankind" – essentially public property – instead of privatizing the seabed. According to economic theories promoted by the Property and Environment Research Center and other free market environmentalists, privatization would create incentives for preservation by giving owners an economic interest in protecting the long-term value of their property. If long-term tuna fishing rights were auctioned off, for instance, the owner would have an incentive not to overfish, since depleting the population would lessen returns in future years.
In the United States there is vigorous debate over ratification of the treaty, with criticism coming mainly from political conservatives who consider it antithetical to US national interests. A small group of Republican senators, led by Jim Inhofe of Oklahoma, has blocked American ratification of the treaty, claiming that it would impinge upon US sovereignty. The Bush administration, a majority of the United States Senate, and the Pentagon favor ratification, as do representatives of scientific, international legal scholar, mining, and environmentalist groups.
Arguments
US arguments against the treaty fall into these main categories:
• National sovereignty: The treaty limits US legal authority by granting power to a United Nations-created agency with its own court and bureaucracy, as part of a general expansion of international power, which is not necessarily democratically elected. Ultimately treaty-based laws could be enforced against the US.
• War on terror: The treaty limits US military activities especially relevant to anti-terror operations, such as intelligence collection and submerged travel in coastal waters (Articles 19, 20) and the boarding of foreign-flag ships on the high seas (Art. 110). Other provisions such as Articles 88 and 301 limit the sea to "peaceful purposes," which is said to restrict all military operations.
• Navigation rights not threatened: One of the treaty's main selling points, legally recognized navigation rights on, over, and under straits, is unnecessary because these rights are not currently threatened by law or by any military capable of opposing the US.
• Redistribution of wealth: The treaty would force the US to pay taxes to the United Nations, further increasing the UN's power.[citation needed]
• Redistribution of technology: The treaty would force US businesses to turn over economically and militarily relevant technology to other countries.[citation needed]
• Undesirable precedent: The treaty paves the way for increased power of Non-governmental organizations over the US and other nations.
• Harm to de-militarizing operations: The treaty would for the first time require all unmanned ocean vessels, including those submarines used for mine detection to protect ships exercising the right of innocent passage, to navigate on the surface in territorial waters - effectively eliminating their value for such purposes[4].
• Internationalizing domestic law: Some of the treaty's conservation provisions would provide new avenues for non-U.S. environmental organizations to attempt to influence domestic U.S. environmental policies by pursuing legal action in both U.S. and international courts[5].
Response
The response to these criticisms is a vigorous denial of their truth. A compilation of arguments by Prof. John Norton Moore of the University of Virginia Law School and Adm. William L. Schachte addresses the criticism as follows:
• Existing compliance: The US already has accepted many parts of the treaty via the UN Charter and the 1958 Geneva Conventions, and by Ronald Reagan's executive order already considers itself bound by the 1982 version of the treaty but for the mining provisions of Part XI.
• International law: The anti-UN arguments against compliance with this treaty apply to all international agreements, so that a position that the US must not bind itself in any way is a rejection of the principle of international diplomacy.
• Straits rights needed: There are more than 100 straits used for navigation, making many countries capable of cutting off waterways crucial to defense and the majority of US trade. A single international regime is a more practical means of enforcing navigation and overflight rights than a collection of two-party agreements with potentially hostile countries.
• Dispute settlement: The International Seabed Authority's jurisdiction applies only to seabed mining, and the Law of the Sea Tribunal offers several alternative forms of arbitration. The treaty offers a peaceful way to resolve disputes with Canada, India, and other nations. In contrast, without treaty compliance the US has no peaceful recourse if another non-signatory party like Iran decides to close its straits to navigation, making war more likely.
• Military activities unrestricted: The treaty is understood not to apply to wartime or to ban military activities such as the travel of warships, or to restrict any nation's right to self-defense. The Senate made these assertions as well in the proposed advice and consent bill. If military operations such as the Iraq War would be illegal under the treaty, they are already illegal under agreements the US has accepted. Therefore the treaty does not further restrict US military and anti-terror actions. To the extent that the US seeks greater authority to stop, search, and seize vessels on the high seas, it implies that other nations should have the same rights against US ships and crew.
• Expansion of authority: The treaty actually expands US territory and authority by recognizing a 200-mile Exclusive Economic Zone around all coasts, including those of Alaska and Hawaii, roughly doubling the geographic area considered US property.
• No taxation: The International Seabed Authority's "modest revenue sharing provisions... and certain fees" shoud not be considered "taxes," because they represent a sale of access rights similar to land sales, are less than comparable licensing fees charged by countries for coastal mining operations, and go only to the ISA itself rather than to the UN.
• Necessity for mining: The United States presently lacks a developed seabed mining industry and will continue to do so until the treaty is adopted, because American companies refuse to make the necessary billion-dollar-scale investments until they can be assured of internationally recognized, exclusive economic control over mineral deposits.

• Other economic interests: Fisheries and less prominent industries such as undersea cable layers stand to suffer from US non-compliance, possibly taking their business to other countries.
• Onerous mining provisions removed: The ISA, under the 1994 Agreement, has been redesigned to eliminate socialist-style production controls, and it no longer mandates technology transfer.
• Positive precedent: The revised mining provisions now grant the US a permanent veto power over the ISA's spending, a power not shared with any other nation, making the US able to deny funding to the PLO and other disfavored states.
• Overwhelming support: All the major US interest groups including the military, intelligence agencies, and economic, scientific, and environmental groups support the treaty and consider it favorable to US interests.
Overall, Moore and Schachte believe that the defects in the treaty cited by Reagan have been addressed, so that the treaty now represents a large potential gain for US rights and interests with no downside. They consider criticism of the treaty to be founded in ignorance of its actual provisions and in some cases, out.

Latihan Soal:

1. Hal apa yang melatarbelakangi lahirnya Deklarasi Djuanda 1957?
2. Apa akibat dari lahirnya Deklarasi Djuanda 1957?
3. Hal-hal apa saja yang menjadi pokok dari Deklarasi Djuanda 1957?
4. Gambarkan pembagian laut yang terdiri dari laut pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, ZEE, landas kontinen dan laut internasional!
5. Apa arti penting Deklarasi Djuanda 1957 terhadap Wawasan Nusantara Indonesia?

HUKUM LAUT INTERNASIONAL

BAB I
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM LAUT INTERNASIONAL



I. PENDAHULUAN
1. Jaman Romawi
o Kekaisaran Romawi menguasai hampir seluruh Eropa, demikian juga dengan lautnya yang hampir secara keseluruhan dikuasai oleh Romawi.
o Penguasaan atas laut oleh Kekaisaran Romawi bertujuan agar laut bebas dari bajak laut sehingga keamanan pelayaran dapat terjamin. Dengan amannya pelayaran maka perdagangan lancar dan pada akhirnya kesejahteraan orang-orang yang hidup di daerah-daerah di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi akan terjamin.
o Kekuasaan mutlak Kekaisaran Romawi dapat dibenarkan karena dengan adanya penguasaan seperti itu Laut Tengah dapat bebas dari ancaman bajak laut.
o Pemikiran hukum yang melandasi penguasaan mutlak ini adalah res communis omnium yang artinya bahwa laut adalah hak/milik bersama umat manusia. Menurut konsep ini laut adalah bebas dan terbuka bagi setiap orang. Bebas artinya bebas dari ancaman bajak laut ketika sedang memanfaatkan laut.

2. Jaman Abad Pertengahan
o Munculnya banyak negara-negara baru yang sekaligus mengakhiri kekuasaan Kekaisaran Romawi di Eropa yang berarti berakhir pula penguasaan Kekaisaran Romawi atas laut. Hal ini memunculkan masalah baru yaitu : siapakah yang memiliki lautan di antara negara-negara baru merdeka tersebut?
o Negara-negara baru tersebut masing-masing menuntut sebagian dari laut yang berbatasan dengan pantainya dengan bermacam-macam argumentasi, seperti : untuk perlindungan kesehatan/karantina; bea cukai; atau pertahanan keamanan dan netralitas.
o Dengan adanya tuntutan dari negara-negara merdeka tersebut, maka mereka tidak lagi memandang laut sebagai res communis omnium. Kemudian diikuti secara sepihak oleh sebagian negara-negara di Eropa Tengah yang menyatakan bahwa laut yang berbatasan dengan pantainya secara eksklusif adalah haknya. Hal ini melahirkan kebutuhan akan perlunya penjelasan mengenai hak-hak tersebut secara hukum termasuk pembatasan-pembatasannya.
o Pada masa ini munculnya usaha-usaha dari para ahli hukum Romawi untuk mencari penyelesaiannya dengan menggunakan asas hukum Romawi. Ahli-ahli hukum ini dua diantaranya adalah : Bartolus dan Baldus.
o Bartolus membagi laut menjadi 2 yaitu :
a) Laut yang berada di bawah kekuasaan dan kedaulatan negara pantai;
b) Laut yang berada di luar itu yang disebut dengan laut bebas (bebas dari kekuasaan dan kedaulatan siapa pun).
o Baldus membedakan 3 konsepsi yang berhubungan dengan penguasaan atas laut yaitu:
a) Pemilikan atas laut;
b) Pemakaian atas laut;
c) Yurisdiksi atas laut dan wewenang untuk melakukan tindakan-tindakan terhadap kepentingan-kepentingan di laut.
o Disamping kedua teori tersebut, perkembangan Hukum Laut Internasional juga sangat dipengaruhi oleh tindakan-tindakan sepihak negara-negara sebagai pelaksanaan kepentingan mereka masing-masing yang meliputi:
a) Tindakan melindungi laut sebagai sumber kekayaan alam (terutama perikanan);
b) Tindakan menganggap laut sebagai jalur proteksi, baik bea cukai, kesehatan maupun keamanan;
c) Tindakan melindungi laut sebagai sarana komunikasi.
o Tahun 1493 Paus Alexander VI membagi seluruh laut dan samudra di dunia ini menjadi 2 yaitu :
a) Di sebelah barat garis meredien (garis bujur) adalah milik Spanyol;
b) Di sebelah timut garis meredien (garis bujur) adalah milik Portugis.
o Pembagian tersebut dikukuhkan dalam Perjanjian Tordesilas (1494) antara Spanyol dan Portugis. Pembagian ini juga adalah uapaya untuk mendamaikan perseteruan antara kedua negara tersebut sejak jatuhnya Kota Konstantinopel ke tangan Turki. Portugis yang berhasil sampai ke Kepulauan Maluku melalui Samudra Atlantik, Tanjung Harapan (Selatan Afrika) dan India menganggap bahwa Samudra Atlantik dan Samudra Hindia yang mereka lalui sebagai milik mereka. Demikian juga Spanyol yang sampai juga ke Kepulauan Maluku melalui Samudra Pasifik setelah mengitari bagian selatan Benua Amerika menuntut Samudra Pasifik sebagai miliknya.
o Pembagian tersebut tidak berlaku di lautan sebelah utara Benua Eropa, hal ini dibuktikan dengan adanya klaim dominio maris oleh Kerajaan Denmark, yang isinya menyatakan bahwa lautan yang berada di antara pantai-pantai Norwegia, Denmark dan Greenland adalah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Denmark, sehingga masalah-masalah pelayaran, perikanan dan pemberantasan bajak laut adalah di bawah pengaturan Kerajaan Denmark. Hal ini diakui oleh Inggris, Perancis dan Belanda.
o Inggris melakukan hal serupa di bawah pemerintahan Raja Charles II yang menyatakan bahwa laut yang berada di antara Kepulauan Inggris (England, Scotland dan Ireland) adalah King’s Chamber yang batas-batasnya diukur dengan menggunakan garis-garis lurus dari ujung ke ujung Kepulauan Inggris.
o Tindakan Portugis, Spanyol, Inggris dan Denmark tersebut ditentang oleh pihak yang memperjuangkan kebebasan berlayar yang menurut mereka laut adalah bebas untuk dilayari oleh siapa pun. Pendukung pendapat ini adalah HUGO GROTIUS.
3. Pertarungan Mare Liberum dan Mare Clausum
o Hugo Grotius dalam bukunya yang berjudul Mare Liberum (1609) mengungkapkan pembelaan atas hak orang Belanda (dan orang lain selain Spanyol dan Portugis) untuk mengarungi lautan. Argumentasi ini didasarkan atas pembedaan pengertian antara imperium (souvereignty) dan dominium (ownership). Menurutnya kedua hal tersebut berbeda, suatu negara dapat memiliki kedualatan atas bagian-bagian tertentu dari laut tetapi pada umumnya tidak dapat memiliki laut. Sedangkan berlayar dan menangkap ikan berkaitan dengan pemilikan atas laut, oleh karena laut tidak dapat dimiliki, maka berlayar dan menangkap ikan tidak dapat dilarang. Pendapat Hugo Grotius ini dianggap menyerang keputusan Raja James I yang melarang nelayan Belanda untuk menangkap ikan di dekat pantai Inggris.
o Muncul tanggapan dari penulis Inggris yaitu Welwood dan Selden. Selden berpendapat tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa laut tidak dapat dimiliki, karena pada kenyataannya Inggris telah secara nyata memiliki dan menguasai daerah laut yang cukup luas. Perdebatan antara Grotius dan penulis Inggris tersebut sering disebut sebagai Battle of The Books, karena telah tejadi adu argumentasi melalui buku-buku.
o Muncul Pontanus sebagai penengah perdebatan tersebut. Menurutnya kedaulatan adalah mencakup wewenang untuk melarang pihak ketiga, sehingga wewenang untuk melarang pelayaran dan penangkapan ikan tidak lagi dikaitkan dengan pemilikan atas laut. Pontanus membagi laut menjadi 2 bagian, yaitu:
a) Bagian laut yang berdekatan dengan pantai (adjecent sea); bagian ini dapat dimiliki/di bawah kedaulatan negara pantai (coastal state).
b) Bagian laut yang berada di luar itu, yang meruapakan bagian yang bersifat bebas.
4. Teori Tembakan Meriam dan Asal-usul Kaidah Lebar Laut
o Mochtar Kusumaatmadja : pada awal perkembangan Hukum Laut, ada beberapa ukuran yang digunakan untuk menetapkan lebar laut teritorial yaitu:
a) Ukuran tembakan meriam;
b) Ukuran pandangan mata; dan
c) Ukuran marine league.
o Lebar laut 3 mil pernah dinggap sebagai kaidah lebar laut teritorial yang berlaku umum. Asal usul kaidah ini dianggap berasal dari teori jarak tembak meriam yang dikemukakan oleh Cornellis van Bynkershoek , namun kemudian pendapat ini disanggah oleh Reinfeld, Wyndham Walker dan Kent. Menurut mereka hal ini harus dilihat dari dua sudut, yaitu:
a) LEBAR LAUT. Dari sudut lebar laut anggapan bahwa lebar laut 3 mil barasal dari teori tembakan meriam dapat diterima karena, itulah jarak tembakan meriam pada saat itu. Namun dengan adanya kemajuan teknologi yang menyebabkan bertambahnya jarak tembak sebuah meriam, maka hal ini menjadi kehilangan maknanya.
b) TERBENTANGNYA LAUT TERITORIAL SEPANJANG PANTAI SEBAGAI SUATU JALUR YANG TIDAK TERPUTUSKAN. Dilihat dari sudut ini, dalil tembakan meriam tidak mengenal konsepsi jalur yang memanjang sepanjang pantai, tetapi didasarkan atas penguasaan pantai dengan kekuatan senjata (meriam) yang terdapat pada tempat-tempat strategis tertentu. Jika teori ini ingin diterapkan secara konsisten dan sempurna, maka akan memerlukan satuan meriam yang sangat banyak yang ditempatkan sepanjang pantai.
o Pada akhirnya Mochtar Kusumaatmadja menyimpulkan:
a) Secara historis konsepsi laut teritorial lahir bersamaan dengan lahirnya konsepsi laut bebas, yaitu saat berakhirnya pertentangan antara mare liberum dan mare clausum. Saat itu juga merupakan lahirnya Hukum Laut Internasional Publik.
b) Selain untuk kepentingan keamanan dan netralitas ada kepentingan-kepentingan lain yang mendorong negara-negara untuk meluaskan kekuasaannya atas laut yang berbatasan dengan pantainya, yaitu: pencegahan penyelundupan, kesehatan/karantina dan perlindungan perikanan. Pada awal perkembangannya perlindungan tersebut ditampung dalam konsepsi laut teritorial, tetapi di kemudian hari timbul perkembangan di mana ada jalur lain di luar laut teritorial untuk kepentingan-kepentingan yang lain.
II. PERKEMBANGAN YURISDIKSI NEGARA ATAS LAUT YANG BERBATASAN DENGAN PANTAINYA.

Kebutuhan yang bersifat khusus beberapa negara (Inggris dan AS) telah menyebabkan klaim atas laut melebihi 3 mil yang sebelumnya dianggap sebagai bagian laut.
Mengenai kekuasaan negara pantai atas laut teritorial, perkembangan dalam masa permulaan sejarah hukum laut menunjukkan bahwa tidak semua negara memberikan isi yang sama pada wewenang atau kekuasaan negara dalam jalur laut ini. Ada beberapa negara yang menekankan pada aspek pertahanan keamanan dan netralitas, sebaliknya adapula yang menekankan pada aspek kekuasaan negara pantai untuk mengatur dan mengambil tindakan di bidang perikanan.
Perbedaan tersebut disebabkan adanya perbedaan latar belakang sejarah masing-masing usaha penanaman kekuasaan negara pantai atas laut yang berbatasan dengan pantainya.
Namun demikian lambat laun terbina suatu pendirian bahwa kekuasaan negara pantai dalam laut teritorialnya merupakan kekuasaan yang meliputi segala segi kepentingan negara pantai. Kekuasaan penuh negara pantai untuk menjamin kepentingan-kepentingannya dalam laut teritorialnya digambarkan dengan pengertian kedaulatan (sovereignty).
1. Perkembangan Hukum Pemberantasan Penyelundupan di Inggris.
Perkembangan terpenting adalah King’s Chamber yang dituangkan dalam beberapa undang-undang yang diundangkan dalam rentang waktu antara 1784 dan 1802.
Secara singkat isi berbagai undang-undang tersebut adalah memperluas yurisdiksi kerajaan Inggris atas kapal-kapal penyelundup tertentu hingga 12 mil tanpa membeda-bedakan pemilikan dari kapal, sedangkan terhadap kapal-kapal lain, tindakan ini hanya dilakukan apabila pemiliknya adalah kaula negara Inggris. Menembaki kapal bea-cukai dalam batas 12 mil dari pantai merupakan suatu kejahatan yang dapat dikenai hukum mati.
Perundang-undangan yang berlaku sebelumnya dianggap masih tetap berlaku.
Abad 19 diadakan perundang-undangan yang memperluas jurisdiksi dari 12 mil menjadi 24 mil dan akhirnya hingga 100 mil. Perluasan ini adalah untuk mencegah penyelundupan hingga jarak yang cukup jauh dari pantai ini dilakukan karena penyelundupan pada masa itu meningkat dengan tajam.
Namun pada masa abad 19 tersebut terjadi kekacauan penerapan perundang-undangan, karena terlalu banyak adanya peraturan perundang-undangan yang baru, sedangkan peraturan yang lama masih tetap dinyatakan berlaku. Oleh karena ini dilakukanlah penyederhanaan perundang-undangan.
Untuk berlakunya yurisdiksi anti penyelundupan, menurut perundang-undangan yang telah diperbarui antara tahun 1825 dan 1876, maka harus terjadi keadaan atau situasi sebagai berikut:
a) Kapal yang bersangkutan harus memeiliki unsur-unsur pemilikan Inggris atau paling sedikit setengah awak kapal harus berkebangsaan Inggris, di samping terdapatnya barang-barang atau alat-alat yang terlarang (contraband). Dalam hal ini kapal tersebut dapat diperiksa oleh bea-cukai dalam jarak antara 12 dan 25 mil.
b) Sebuah kapal asing yang mengangkut barang-barang atau alat-alat yang terlarang dapat diperiksa dalam jarak 9 mil dari pantai apabila ada seorang atau lebih kaula negara Inggris berada di atas kapal.
c) Sebuah kapal asing yang mengangkut barang-barang atau alat-alat yang terlarang tanpa ada seorang kaula Inggris di atasnya, hanya dapat diperiksa dalam batas 3 mil dari pantai Inggris dan pulau yang terdapat pada selat antara Inggris dan Perancis.
2. Perkembangan Hukum Pemberantasan Penyelundupan di Amerika Serikat

• Adalah negara yang pertama kali menyatakan bahwa ukuran lebar pantai 3 mil adalah terlepas dari ukuran jarak tembakan meriam.
• Ukuran lebar laut 3 mil adalah ukuran yang bersifat sementara, yang sewaktu-waktu dapat berubah.
• UU tahun 1790: bahwa kapal-kapal dapat diperiksa oleh petugas bea-cukai dalam jarak 12 mil dari pantai untuk memeriksa ada atau tidaknya manifest yang memuat perincian barang yang diangkut, sebagaimana disyaratkan UU. UU ini juga memuat ketentuan denda bagi pihak yang menghalang-halangi petugas bea-cukai dalam melaksanakan tugas.
• UU 1791: melarang pembongkaran muatan minuman keras dalam jarak 12 mil, setelah barang tersebut meninggalkan AS.
• UU 1799: memberikan wewenang kepada kapal-kapal bea-cukai untuk melepaskan tembakan terhadap kapal yang tidak mengindahkan perintah-perintahnya.
• UU 1807: Kapal yang memuat budak dilarang berlayar dalam jarak 12 mil dari pantai.
• UU 1922: yang menyebutkan bahwa yurisdiksi anti penyelundupan tidak hanya terbatas pada minuman keras, tetapi pada segala macam barang.
3. Perjanjian Inggris-Amerika
• Berlaku pada tanggal 24 Mei 1924.
• Pihak peserta mengakui bahwa lebah laut 3 mil adalah batas lebar laut teritorial yang paling tepat.
• Pihak Inggris setuju untuk tidak keberatan diperiksanya kapal-kapal milik mereka di luar batas laut teritorial.
• Kapal-kapal yang mengangkut minuman keras tidak akan disita asalkan tidak diperuntukkan untuk suatu pelabuhan di AS.
4. Konvensi Negara-negara Baltik.
• Diadakan tanggal 9 Agustus 1925
• Pesertanya adalah : Jerman, Denmark, Estonia, Finlandia, Latvia, Lithuania, Norwegia, Polandia, Swedia, Kota Bebas Danzig dan USSR.
• Bertujuan untuk memberantas perdagangan gelap dalam minuman keras.
• Para peserta tidak akan keberatan dilakukannya tindakan sesuai dengan UU negara pantai, dalam batas 12 mil diukur dari pantai, jika kapal-kapal mereka ternyata kedapatan melakukan penyelundupan



BAB II
MASALAH HUKUM LAUT DALAM
KONFERENSI KODIFIKASI DEN HAAG 1930

Konferensi tahun 1930 ini diselenggarakan oleh LBB, yang sebenarnya tidak secara khusus membahas mengenai Hukum Laut. Konferensi ini membahas 3 masalah dalam Hukum Internasional, yaitu:
• Kewarganegaraan
• Perairan teritorial, dan
• Tanggung jawab negara untuk kerugian yang ditimbulkan dalam wilayahnya terhadap pribadi atau kekayaan orang asing.
1. Hasil Konferensi (Perairan Teritorial)

a. Laut Teritorial
• Tidak ada kesepakatan mengenai lebar laut teritorial. Hal ini disebabkan karena sebagian besar peserta ingin memaksakan diterimanya lebar laut teritorial 3 mil sebagai ukuran yang berlaku umum (universal), atau dengan kata lain tidak adanya kesediaan dari sebagian besar peserta konferensi untuk mengakui adanya praktik negara-negara yang memiliki laut teritorial yang lebih lebar (daripada 3 mil) dan perlunya menampung kenyataan itu dalam suatu rumus tentang lebar laut teritorial yang fleksibel.
• Pasal 1 : bahwa wilayah negara meliputi suatu jalur laut yang disebut dengan laut teritorial. Kedaulatan pada wilayah ini disamakan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam konvensi ini dan ketentuan-ketentuan lain dalam Hukum Internasional.
• Pasal 2 : Laut teritorial meliputi ruang udara di atasnya dan dasar laut serta tanah di bawahnya. (sifat 3 dimensi laut teritorial).
b. Hak Lintas Damai
• Pasal 3 (1) : Lintas adalah berlayar melalui laut teritorial, baik untuk melewati tanpa masuk ke dalam perairan pedalaman maupun untuk masuk ke perairan pedalaman, demikian juga menuju laut bebas setelah meninggalkan laut pedalaman.
• Pasal 3 (2) : suatu lintasan bukan merupakan lintas damai apabila kapal asing menggunakan laut teritorial suatu negara untuk melakukan perbuatan yang merugikan keamanan, ketertiban umum dan kepentingan fiskal negara pantai.
• Pasal 3 (3) ; termasuk pengertian hak lintas adalah untuk berhenti dan membuang sauh sepanjang tindakan-tindakan tersebut termasuk tindakan wajar yang diperlukan dalam navigasi normalatau terpaksa dilakukan oleh kapal dalam keadaan force majeur.
• Pasal 4: kewajiban negara pantai untuk tidak menghalang-halangi lintas damai kapal asing melalui laut teritorial. Kapal selam diharuskan lewat di atas permukan air.
• Pasal 5: hak lintas damai kapal asing tidak akan mengurangi hak negara pantai untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan untuk mencegah terjadinya segala gangguan terhadap keamanan, ketertiban umum dan kepentingan fiskal di dalam laut teritorial dan sepanjang mengenai kapal yang berada dalam laut teritorialnya, untuk melakukan penindakan terhadap pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi kapal-kapal asing yang melintasi wilayahnya.
• Pasal 6: Kapal-kapal asing yang melakukan hak lintas damai diwajibkan untuk mentaati peraturan perundang-undangan atau aturan-aturan lainnya yang dikeluarkan oleh negara pantai sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan internasional. Peraturan-perturan tersebut: (a) berkaitan dengan keselamatan pelayaran dan keamanan lalu lintas serta cabotage; (b) perlindungan terhadap bahaya pencemaran laut ; (c) perlindungan sumber kekayaan laut; dan (d) perlindungan perikanan, perburuan serta hak-hak serupa yang dimiliki negara pantai.
• Pasal 7: Negara pantai tidak boleh melakukan diskriminasi dalam penerapan peraturan perundang-undangan antara kapal yang satu dengan lainnya.
c. Yurisdiksi Pidana Dan Perdata Negara Pantai Atas Kapal-Kapal Asing Di Dalam Laut Teritorial.
• Konvensi Den Haag 1930 menyatakan bahwa kedaulatan membawa akibat dalam bidang hukum yaitu wewenang untuk melakukan penuntutan atas pelanggaran-pelanggaran ketentuan-ketentuan perundang-undangan umum negara pantai baik di bidang pidana maunpun perdata.
• Dalam sebuah kapal yang melalui laut teritorial suatu negara pantai akan berlaku 2 yurisdiksi, yaitu yurisdiksi negara pantai yang memiliki kedaulatan atas laut teritorial dan yurisdiksi negara bendera kapal.
• Pasal 8 (1): negara pantai tidak dapat melakukan penangkapan atau penahanan seseorang yang telah melakukan tindak pidana di atas kapal selama dilakukannya lintas melalui laut teritorialnya, kecuali: (a) apabila tindak pidana tersebut terasa hingga ke luar kapal, (b) apabila tindak pidana tersebut mengganggu keamanan umum negara pantai atau ketertiban umum dalam laut teritorial, dan (c) apabila kapten kapal telah meminta pertolongan pejabat-pejabat setempat atau konsul dari negara bendera kapal.
• Pasal 8 (2): tidak mengurangi hak negara pantai untuk melakukan penangkapan atau penahanan yang didasarkan atas perundang-undangan nasionalnya terhadap seseorang yang berada di atas kapal asing yang berada di perairan pedalaman atau yang berlabuh dalam laut teritorial, atau yang sedang lintas dalam laut teritorialnya menuju perairan pedalaman.
• Pasal 8 (3): pejabat-pejabat negara pantai harus selalu memperhatikan kepentingan pelayaran dalam melakukan penangkapan atau penahanan seseorang di atas kapal.
• Pasal 9 (1): negara pantai tidak dapat menahan ataupun mengubah rute sebuah kapal asing yang sedang melakukan lintas melalui laut teritorialnya, untuk melaksanakan yurisdiksi perdatanya berkaitan dengan seseorang yang berada di atas kapal. Negara pantai tidak boleh melaksanakan tindakan-tindakan eksekusi atau sita jaminan terhadap perkara-perkara perdata, kecuali tindakan-tindakan tersebut dilakukan berkaitan dengan kewajiban-kewajiban atau tanggung jawab perdata yang dilakukan oleh kapal yang bersangkutan berhubungan dengan pelayaran serta lintasan yang dilkukan dalam perairan negara pantai.
• Pasal 9 (2): tidak mengurangi hak negara pantai untuk mengambil tindakan-tindakan eksekusi atau sita jaminan dalam perkara perdata yang berasaskan perundang-undangannya berkaitan dengan suatu kapal asing yang berada di perairan pedalaman atau yang sedang lintas dalam laut teritorialnya menuju perairan pedalaman.
• Pasal 10: ketentuan yang tersebut dalam Pasal 8 dan 9 tidak berlaku bagi kapal-kapal pemerintah atau negara asing yang tidak digunakan untuk pelayaran perdagangan, misalnya kapal perang dan kapal pemerintah.
d. Pengejaran Seketika (hot pursuit)
• Pasal 11 (1): pengejaran seketika suatu kapal asing yang telah melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan negara pantai, dimulai pada saat kapal asing tersebut sedang berada dalam perairan pedalaman atau dalam laut teritorial, dan dapat diteruskan hingga ke laut lepas asalkan pengejaran tersebut dilakukan tanpa henti.
• Hak pengejaran seketika berhenti pada saat kapal yang dikejar memasuki laut teritorial negaranya atau negara ketiga.
• Pasal 11 (2): Pengejaran seketika dianggap dimulai setelah kapal yang melakukan pengejaran yakin bahwa kapal yang dikejar benar-benar berada di dalam batas-batas laut teritorialnya dan pengejaran dimulai setelah memberikan tanda untuk berhenti.
• Dalam hal dilakukan penangkapan, maka hal ini harus secepatnya (tanpa penundaan) diberitahukan kepada negara asal kapal yang ditangkap.
e. Hak Lintas Kapal Perang
• Belum ada kesepakatan antara negara peserta mengenai hal ini.
• Pasal 12 (1): negara pantai tidak dapat menghalang-halangi lintas kapal perang asing yang melalui laut teritorialnya dan tidak dapat meminta agar terlebih dulu harus diberikan ijin atau pemberitahuan.
• Negara pantai berhak untuk mengatur syarat-syarat bagi lintas kapal perang asing yang melalui laut teritorialnya.
• Kapal selam perang wajib untuk melakukan lintas di atas permukaan laut.
f. Arti Penting Konferensi Den Haag 1930
• Meletakkan dasar-dasar bagi perkembangan hukum laut internasional publik masa kini. Artinya, konferensi ini telah menghasilkan gagasan-gagasan yang kemudian merupakan benih-benih bagi pertumbuhan hukum laut internasional publik masa kini, misalnya konsep negara kepulauan, konsep jalur tambahan (contiguous zone), dan perlindungan perikanan.
• Sebagai jembatan penghubung antara hukum laut internasional klasik dan hukum laut internasional modern.






























BAB III
PERKEMBANGAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL
SETELAH PERANG DUNIA II

Setelah PD II terjadi perkembangan HLI yang disebabkan oleh :
• Munculnya negara-negara merdeka baru yang berakibat berubahnya peta politik dunia;
• Terjadinya perkembangan iptek yang sangat pesat;
• Semakin bergantungnya negara-negara pada laut sebagai sumber kekayaan hayati (misalkan perikanan) maupun non-hayati (misalkan migas).
Selanjutnya terdapat beberapa peristiwa penting yang sangat berpengaruh pada perkembangan HLI, yaitu:
1. Proklamasi Presiden Truman 1945 tentang Landas Kontinen dan Perikanan;
2. Sengketa Perikanan antara Inggris dan Norwegia (Anglo Norwegian Fisheries Case) tahun 1951;
3. Klaim-klaim yang diajukan oleh beberapa negara Amerika Latin yang berkenaan dengan suatu jalur laut 200 mil.
1. PROKLAMASI TRUMAN 28 SEPTEMBER 1945
a. Tentang Landas Kontinen
• Sumber-sumber alam yang berada dalam bawah tanah (sub soil) dan dasar laut (seabed) di bawah laut lepas, tetapi bersambungan dengan pantai-pantai AS adalah berada atau tunduk kepada yurisdiksi dan pengawasan AS.
• Dalam hal dataran kontinen yang demikian memanjang sampai ke wilayah pantai negara lain, maka perbatasannya akan ditentukan oleh AS dan negara-negara yang bersangkutan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan.
• Ketentuan ini tidak akan mempengaruhi sifat laut lepas di atas dataran kontinen tersebut dan hak untuk melakukan pelayaran bebas tanpa rintangan pada laut itu.
• Proklamasi ini memunculkan pengertian baru yaitu bahwa landas kontinen adalah kelanjutan alamiah dari wilayah daratan, sehingga sudah sepantasnyalah kekuasaan untuk mengaturnya ada di tangan negara pantai yang berbatasan dengan dataran kontinen yang bersangkutan.
• Proklamasi ini memperluas wewenang AS untuk mengambil kekayaan alam dari dasar laut yang berbatasan dengan pantainya, termasuk tanah yang ada di bawahnya, namun tetap mempertahankan kebebasan berlayar di laut lepas dalam perairan di atasnya. Jadi yurisdiksi yang muncul bukanlah yurisdiksi penuh, yurisdiksi penuh AS tetap terbats pada laut teritorial 3 mil.
• Proklamasi ini didasarkan pada argumentasi yang bersifat geologis berbeda dengan penguasaan serupa yang dilakukan sebelumnya oleh negara lain yang didasarkan pada penguasaan efektif (effective occupation) atau atas dasar hak sejarah (prescription).
• Hal ini kemudian diikuti oleh Mexico (29 Oktober 1945), Panama (11 Maret 1946) dan Argentina (9 Oktober 1946).
• Tindakan-tindakan sepihak negara-negara tentang dasar laut dan tanah di bawahnya itu dibedakan ke dalam 4 golongan:
1. Tindakan yurisdiksi yang ditujukan pada penguasaan kekayaan alam yang terkandung dalam dasar laut dan tanah di bawahnya yang berbatasan dengan pantai negara itu;
2. Perluasan yurisdiksi atas dasar laut dan tanah di bawahnya;
3. Perluasan kedaulatan atas landas kontinen dan perairan di atasnya;
4. Perluasan kedaulatan atas lautan (dengan atau pun tanpa menyebut landas kontinen) hingga suatu jarak tertentu.
b. Tentang Perikanan
• Dalam hal kegiatan perikanan di laut dekat pantai AS selama ini atau dalam waktu yang akan datang dilakukan oleh warga negara AS, maka pemerintah AS menganggap sudah sepantasnyalah jika AS menetapkan zona perlindungan perikanan yang mana kegiatan perikanan di zona tersebut seluruhnya berada di bawah pengaturan AS.
• Dalam hal pada masa yang lampau kegiatan perikanan dilakukan dan dikembangkan juga oleh nelayan-nelayan asing, maka AS dan negara asing yang bersangkutan melalui perjanjian dapat menetapkan zona perlindungan perikanan. Kegiatan dalam zone tersebut diatur dalam perjanjian.
• AS mengakui hak negara lain untuk menentukan zona perlindungan perikanan yang serupa, asalkan kegiatan perikanan warga negara AS yang telah ada di daerah itu tetap diakui.
• Ketentuan ini tidak akan mempengaruhi status laut lepas yang bersangkutan sebagai laut bebas.
2. ANGLO NORWEGIAN FISHERIES CASE 1951
Juli 1935 Norwegia melalui Royal Decree menetapkan batas-batas perairan perikanan yang tertutup bagi nelayan-nelayan asing. Dekrit ini menunjuk pada dekrit-dekrit serupa yang sudah pernah dikeluarkan sebelumnya pada tahun 1812, 1869, 1881, dan 1889. Pada bagian pertimbangan disebutkan : hak-hak nasional yang telah lama ada atau diakui dalam sejarah, keadaan geografis yang spesifik dari pantai Norwegia serta untuk melindungi dan mengamankan kepentingan vital penduduk yang ada di bagian utara Norwegia.
Yang menjadi persoalan bagi Inggris bukanlah lebar laut teritorial 4 mil yang diklaim Norwegia, tetapi cara penarikan garis pangkal lurus sebagaimana yang ditetapkan dalam Firman Raja 1935 bertentangan dengan ketentuan Hukum Internasional yang berlaku. Oleh karena Inggris maupun Norwegia telah menerima yurisdiksi wajib Mahkamah Internasional berdasarkan klusula opsional (optional clause) maka Inggris mengajukan tuntutan terhadap Norwegia itu ke Mahkalah Internasional.
Terdapat dua pertentangan antara kedua negara, yaitu:
1. Menurut Inggris : garis harus ditarik menurut garis pasang surut (low tide elevation) dari suatu tanah daratan tetap (permanent dry land) dari bagian wilayah Norwegia. Skjaergaard (gugusan pulau yang terdapat di hadapan pantai Norwegia) bukan merupakan bagian wilayah daratan tetap Norwegia, oleh karenanya garis pangkal tidak dapat ditarik dari gugusan pulau tersebut. Sedangkan menurut Norwegia gugusan pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah Norwegia sehingga garis pangkal dapat ditarik dari sana.
2. Perbedaan pendapat dalam hal penerapan cara penarikan garis pangkal yang ditarik menurut garis pasang surut.
Mahkamah Internasional menelaah 3 cara penarikan garis pangkal yang didasarkan prinsip pasang surut, yaitu:
• Trace parallele : yaitu garis batas luar mengikuti segala liku dari garis pasang surut.
• Arc of circles : yaitu garis batas luar langgsung ditentukan tanpa adanya garis pangkal terlebih dulu.
• Straight base-line : yaitu garis pangkal tidak ditarik tepat menurut segala liku garis pasang surut, melainkan garis lurus ditarik dengan menghubungkan titik-titik tertentu yang berbeda pada garis pasang surut.
Menurut Inggris penarikan garis pangkal lurus hanyalah suatu pengecualian, yang dapat dibenarkan dalam hal-hal tertentu dan dengan pembatasan-pembatasan tertentu pula. Inggris berpendapat bahwa Norwegia hanya dapat dibenarkan untuk menarik GPL di muka suatu teluk dan tidak dari suatu pulau ke pulau lain di depan pantai Norwegia atau di depan gugus pulau. Disamping itu panjang garis pangkal di muka suatu teluk tidak boleh melebihi ukuran panjang 10 mil.
Inggris mengakui bahwa laut yang berada di antara gugusan pulau dan daratan Norwegia dan laut di teluk-teluk atau anak laut yang dinamakan fyord atau sunds adalah laut teritorial atau perairan pedalaman Norwegia. Tetapi hal itu hanya didasarkan atas adanya hak sejarah (prescription) sehingga hal itu merupakan pengecualian.
Inggris juga berpendapat bahwa panjang GPL yang ditarik dari pulau ke pulau atau gugus pulau di maka pantai sekalipun bukan merupakan teluk tidak boleh melebih 10 mil.
PUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL
1. Menolak pendapat Inggris bahwa GPL hanya dapat ditarik dari muka suatu teluk, alasannya : jika cara penarikan GPL dapat dibenarkan sebagai salah satu cara penarikan garis pangkal, maka tidak ada alasan mengapa garis-garis lurus yang demikian tidak dapt ditarik dari (di antara) pulau-pulau kecil dan karang serta skjaergaard yang terdapat antara dua titik dari pantai daratan (inter fauces terrarum).
2. Tidak dapat menerima dalil Inggris bahwa panjang GPL tidak dapat melebihi 10 mil. Alasannya, karena walupun ukuran 10 mil memang dianut dalam beberapa praktik negara-negara dalam perjanjian antar mereka dan disebut pula dalam beberapa putusan arbitrase, namun ukuran 10 mil bukan kaedah internasional umum.
3. Berpendapat bahwa tindakan pemerintah Norwegia dalam menentukan garis pangkal bagi pembatasan zone perikanannya melalui Royal Decree 1935 tersebut tidak melanggar ketentuan HI.
3. KLAIM-KLAIM YANG DIAJUKAN OLEH NEGARA-NEGARA AMERIKA LATIN

• Klaim yang diajukan oleh beberapa negara Amerika Latin atas suatu jalur laut 200 mil.
• Ditandai dengan Deklarasi Presiden Chile (23 Juni 1947) dan Deklarasi Presiden Peru (1 Agustus 1947).
• Berbeda dengan Proklamasi Truman 1945 yang didasarkan atas argumentasi geologis (yaitu bahwa landas kontinen adalah kelanjutan alamiah daratan atau pantai), maka kedua deklarasi tersebut justru didasarkan atas alasan tidak adanya landas kontinen dalam arti geologis di muka pantai kedua negara tersebut, sehingga perlu adanya kompensasi atas keadaan itu.
• Argumentasi tersebut diperkuat dengan adanya argumentasi biologis yang disebut teori bioma.
• Perpaduan antara argumentasi geologis dan biologis tersebut disampaikan dalam Deklarasi Santiago 18 September 1952 (pesertanya ditambah Equador).
• Ketiga negara tersebut (Peru, Chile dan Equador) menghendaki lebar laut 200 mil karena, dalam ekosistem yang mengandung bioma-bioma di daerah yang meliputi Chile, Equador dan Peru, arus laut Humbolt (atau arus laut Peru) memegang peranan penting sebagai faktor utama dalam kehidupan biologis daerah-daerah ini. Karena saling ketergantungan antara kehidupan di darat dan sumber kekayaan di laut, maka perlindungan kekayaan laut menjadi soal hidup mati ketiga negara tersebut. Letak arus Humbolt tidak sama letaknya dari ketiga negara, namun batas lingkungan bioma-bioma yang tergantung padanya terletak rata-rata dalam batas 200 mil dari pantai.













































BAB IV
KONFERENSI HUKUM LAUT JENEWA1958

• Dasar hukumnya adalah Resolusi Majelis Umum PBB No. 1105 (XI) 21 Februari 1957.
• Berlangsung dari tanggal 24 Feberuari sampai 27 April 1958.
• Dihadiri 86 negara
• Menghasilkan 4 Konvensi, yaitu:
1) Konvensi I tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan (Convention on Territorial Sea and Contiguous Zone);
2) Konvensi II tentang Laut Lepas (Convention on the High Sea);
3) Konvensi III tentang Perikanan dan Perlindungan Kekayaan Hayati Laut Lepas (Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Sea);
4) Konvensi IV tentang Landas Kontinen (Convention on Continental Shelf)
1. KONVENSI I TENTANG LAUT TERITORIAL DAN JALUR TAMBAHAN
• Tidak berhasil memutuskan mengenai lebar laut teritorial.
• Laut teritorial adalah jalur yang terletak di sepanjang pantai suatu negara dan berada di bawah kedaulatan negara tersebut. (Pasal 1).
• Kedaulatan negara atas laut teritorial juga mencakup ruang udara di atasnya dan dasar laut serta tanah di bawahnya. (Pasal 2).
• Garis pasang surut (low water mark) sebagai garis pangkal biasa atau garis pangkal normal (normal base-line). (Pasal 3).
• GPL digunakan dalam keadaan tertentu (Pasal 4 ayat (1)), yaitu:
o Di tempat-tempat di mana pantainya banyak liku-liku tajam dan laut masuk jauh ke dalam; dan
o Apabila terdapat deretan pulau yang letaknya tidak jauh dari pantai.
• Syarat-syarat penarikan GPL (Pasal 4 ayat (2) (3) dan (4)):
o Garis-garis lurus itu tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari arah umum pantai dan bahwa bagian laut yang terletak pada sisi dalam (sisi darat) dari garis-garis itu harus cukup dekat pada wilayah daratan untuk dapat diatur oleh rezim perairan pedalaman;
o Garis-garis lurus tidak boleh ditarik diantara dua pulau atau bagian daratan yang hanya timbul di atas permukaan air pada waktu surut, kecuali jika di atasnya didirikan mercusuar-mercusuar atau instalasi-instalasi serupa yang setiap saat ada di atas permukaan air;
o Penarikan garis pangkal tidak boleh dilakukan sedemikian rupa sehingga memutuskan hubungan laut teritorial negara lain dengan laut lepas.
• Perairan pedalaman adalah perairan pada sisi darat dari garis pangkal laut teritorial. (Pasal 5). Pada perairan ini kapal-kapal asing mempunyai HLD. Dengan demikian pasal ini menciptakan sebuah konsep baru yaitu suatu bagian dari perairan wilayah yang berbentuk perairan pedalaman tetapi dengan rezim hukum yang serupa dengan laut teritorial.
• Panjang maksimum closing line sebuah teluk adalah 24 mil (dua kali lebar maksimum laut teritorial). (Pasal 7 (4)).
• Semua kapal termasuk kapal asing mempunyai HLD. (Pasal 14).
• Lintas adalah pelayaran melalui laut teritorial baik dengan maksud untuk melewati laut teritorial itu tanpa memasuki perairan pedalaman maupun untuk melanjutkannya ke perairan pedalaman atau menuju laut lepas dari perairan pedalaman (Pasal 14 ayat (2)).
• Lintas termasuk berhenti dan membuang sauh sepanjang diperlukan dalam pelayaran biasa (normal) atau karena force majeur atau karena keadaan bahaya (distress). Artinya apabila berhentinya kapal atau pembuangan sauh tersebuttidak diperlukan dalam pelayaran normal, atau bukan karena force majeur, atau karena keadaan bahaya maka hal tersebut bukan merupakan lintas. Pengertian lintas adalah unsur pokok pertama dari pengertian lintas damai, jadi jika suatu pelayaran tidak memenuhi syarat lintas berarti bukan merupakan lintas damai, walaupun unsur pokok kedua (sifat damai) dipenuhi. (Pasal 14 (3)).
• Suatu lintas adalah damai sepanjang tidak bertentangan dengan perdamaian, ketertiban, atau keamanan negara pantai. Lintas yang demikian harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan HI. (Pasal 14 (4)).
• Lintas dari kapal-kapal penangkap ikan asing harus tidak dianggap sebagai damai jika tidak mematuhi hukum dan perundang-undangan negara pantai yang mungkin dibuat dan diberlakukan dalam rangka mencegah kapal-kapal ini melakukan penangkapan ikan dalam laut teritorial. (Pasal 14 (5)).
• Kapal-kapal selam diharuskan berlayar di atas permukaan air dan menunjukkan benderanya. (pasal 14 (6)).
• Negara pantai berhak mengatur lalu lintas kapal untuk mencegah lalu lintas yang merugikan kepentingannya. (Pasal 16 (1)).
• Kapal asing wajib mentaati undang-undang dan peraturan negara pantai untuk mengatur lalu lintas pelayarannya. Namun bukan berarti negara pantai dapat dengan bebas mencegah atau menghalangi semua lintas kapal asing dalam laut teritorialnya. (Pasal 16 (2)).
• Syarat-syarat bagi negara pantai untuk mencegah lintas kapal asing dalam laut teritorialnya:
o Tindakan tidak boleh bersifat diskriminatif antar kapal asing;
o Larangan harus bersifat terbatas baik waktu maupun tempatnya  bersifat sementara dan hanya berlaku pada bigian-bagian tertentu dari laut teritorialnya;
o Larangan tidak bersifat mutlak, hanya bersifat menangguhkan saja.
• Terhadap kapal-kapal pemerintah yang digunakan dalam pelayaran niaga yang melakukan lintas di laut teritorial negara pantai, maka negara pantai berhak untuk memungut bayaran, serta mempunyai yurisdiksi kriminal dan perdata (tertentu) terhadapnya. Sedangkan terhadap kapal pemerintah yang bukan kapal perang, berlaku ketentuan umum lintas damai.
• Dalam hal kapal perang tidak menaati peraturan-peraturan negara pantai tentang lalu lintas dalam laut teritorialnya dan tidak menghiraukan permintaan negara pantai untuk memenuhi peraturan tersebut, maka negara pantai berhak memerintahkan agar kapal tersebut meninggalkan laut teritorialnya.
2. KONVENSI II TENTANG LAUT LEPAS
• Laut lepas adalah setiap bagian laut yang tidak merupakan laut teritorial atau laut pedalaman suatu negara. (Pasal 1).
• Empat prinsip kebebasan laut lepas:
o Kebebasan pelayaran;
o Kebebasan menangkap ikan;
o Kebebasan untuk memasang kabel dan saluran-saluran pipa bawah permukaan laut;
o Kebebasan untuk terbang di atas laut lepas.
• Pasal 5 mengatur mengenai kebangsaan, registrasi dan bendera kapal.
• Pasal 14-21  perompakan di laut.
• Pasal 22 mengatur syarat agar kapal perang dapat dibenarkan menghentikan dan memeriksa suatu kapal asing adalah apabila terdapat kecurigaan bahwa:
o Kapal itu terlibat perompakan;
o Terlibat perdagangan budak;
o Walaupun mengibarkan bendera asing atau menolak menunjukkan bendera, kapal itu sebenarnya sekebangsaan dengan kapal yang memeriksa.
• Pasal 23 mengatur mengenai hot pursuit, yang mengandung unsur-unsur baru jika dibandingkan dengan Konferensi Den Haag 1930  hot pursuit dapat dimulai tidak hanya jika kapal yang melakukan pelanggaran itu, barada di laut teritorial, tetapi juga jika melakukan pelanggaran di jalur tambahan, dengan syarat bahwa perbuatan yang dilakukan itu merupakan pelanggaran terhadap salah satu kepentingan dari diadakannya jalur tambahan itu. Diatur juga pengejaran yang dilakukan oleh kapal terbang, dan ketentuan tentang pembayaran ganti kerugian jika kapal asing yang dikejar itu menderita kerugian akibat suatu pengejaran yang tidak dapat dibenarkan atau tidak memenuhi syarat sebagai pengejaran seketika.
3. KONVENSI III TENTANG PERIKANAN DAN PERLINDUNGAN KEKAYAAN HAYATI LAUT LEPAS.

• Bertujuan untuk menggalang kerja sama internasional dalam pencegahan dan penanggulangan sumber kekayaan hayati di laut lepas.
• Pasal 1 (1) mengakui nelayan negara-negara untuk melakukan penangkapan ikan di laut lepas namun dengan pembatasan-pembatasan:
o yang ditentukan dalam perjanjian-perjanjian negara mereka dengan negara lain;
o kepentingan dan hak-hak negara pantai;
o ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan perikanan sebagaimana ditetapkan dalam konvensi ini.
• Selanjutnya ayat (2) menegaskan kewajiban negara-negara untuk mengadakan tindakan-tindakan yang diperlukan bagi perlindungan kekayaan hayati laut, baik secara sepihak maupun melalui kerja sama dengan negara-negara lain.
• Sistematika pembahasan perlindungan perikanan dalam konvensi ini:
o Perlindungan perikanan dan kekayaan hayati laut lepas yang berjauhan dari pantai negara yang nelayan-nelayannya menangkap ikan di sana;
o Perlindungan perikanan dan kekayaan hayati laut lepas yang berbatasan dengan laut teritorial salah satu pihak;
o Kepentingan istimewa suatu negara pantai dalam perlindungan perikanan dan kekayaan hayati laut lepas yang tidak berbatasan dengan pantainya sedangkan nelayan-nelayannya tidak menangkap ikan di sana.
4. KONVENSI IV TENTANG LANDAS KONTINEN
• Landas kontinen merujuk pada:
a) Dasar laut dan tanah bawah dari daerah-daerah dasar laut yang berdekatan dengan pantai tetapi di luar daerah laut teritorial, sampai pada kedalaman 200 meter, atau di luar batas itu sampai pada kedalaman air yang memungkinkan eksploitasi sumber-sumber daya alam di daerah-daerah yang disebutkan itu;
b) Dasar laut dan tanah bawah dari daerah-daerah dasar laut yang sama yang berdekatan dengan pantai dari pulau-pulau.
• Hak-hak negara pantai atas landas kontinen adalah:
a) Negara pantai menikmati hak-hak kedaulatan atas landas kontinen itu untuk maksud mengeksplorasinya dan mengeksploitasi sumber-sumber daya alamnya;
b) Hak-hak tersebut bersifat eksklusif, artinya jika negara pantai tidak mampu mengeksplorasi landas kontinen atau mengeksploitasi sumber-sumber daya alamnya, maka negara lain tidak dapat menjalankan aktifitas-aktifitas itu atau mengajukan klaim terhadap landas kontinen tersebut tanpa persetujuan tegas dari negara pantai;
c) Hak-hak negara pantai atas landas kontinen itu tidak tergantung pada pendudukan (occupation) baik secara efektif maupun secara anggapan, ataupun atas dasar pengumuman yang tegas;
d) Sumber-sumber daya alam terdiri atas mineral dan sumber-sumber non-hayati lain dari dasar laut dan tanah di bawahnya, juga organisme-organisme hayati yang termasuk spisies menetap seperti organisme yang, pada tahap dapat dipanen, baik yang tidak mampu bergerak di atas atau di bawah dasar laut atau tidak mampu berpindah kecuali dalam kontak fisik yang konstan dengan dasar laut atau tanah di bawahnya.
• Pasal 4 menyatakan bahwa dalam melaksanakan hak-haknya untuk melakukan eksplorasi landas kontinen dan eksploitasi kekayaan alam di dalamnya, negara pantai tidak boleh menghalang-halangi pemasangan kabel dan saluran pipa di atas dasar landas kontinen.
• Pasal 5 menyatakan bahwa pelaksanaan hak-hak negara pantai atas landas kontinen tidak boleh mengakibatkan gangguan terhadap pelayaran, penangkapan ikan atau tindakan-tindakan perlindungan kekayaan hayati laut, serta tidak boleh pula mengganggu penyelidikan oceanografi dan penyelidikan ilmiah lainnya yang dilakukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
• Sedangkan bagi pihak-pihak yang hendak melakukan penyelidikan ilmiah di landas kontinen, terlebih dulu harus ada ijin dari negara pantai dan kemudian wajib mengumumkan hasil-hasil penelitian itu secara terbuka.




















BAB V
INDONESIA DAN PERKEMBANGAN HLI DEWASA INI

1. Deklarasi Djuanda
Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan jaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas.
Deklarasi ini menyatakan hal-hal :
a. Perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara RI dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian-bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara RI dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara RI.
b. Lintas damai di perairan pedalaman bagi kapal asing terjamin, selama dan sekadar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan Negara RI.
c. Penentuan batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-pulau Negara RI akan ditentukan dengan UU.
Pertimbangan yang mendorong dekeluarkannya Deklarasi Djuanda :
a. Bahwa bentuk geografi RI sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau, memiliki sifat dan corak tersendiri pula;
b. Untuk kesatuan wilayah Negara RI, maka semua pulau serta laut yang terletak di antaranyaharus dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat;
c. Bahwa penetapan batas-batas laut teritorial yang diwarisi dari pemerintah kolonial Belanda sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) TZMKO 1939 tidak sesuai lagi dengan kepentingan keselamatan dan keamanan Negara RI.
d. Bahwa setiap negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dipandang perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan negaranya.
Setelah dikeluarkan, beberapa negara menyatakan tidak mengakui klaim Indonesia atas perairan di sekitar dan di antara pulau-pulaunya, negara-negara tersebut adalah: AS, Australia, Inggris, Belanda, dan New Zealand. Sedangkan yang setuju hanyalah RRC dan USSR. Oleh karena ketidaksetujuan negara-negara tersebut maka deklarasi ini ditangguhkan pelaksanaannya.
Usaha untuk memperoleh pengakuan bagi pengaturan laut wilayah yang didasarkan atas konsep negara kepulauan (archipelago) melalui forum internasional, yaitu melalui Konferensi Hukum Laut Internasional di Jenewa 1958, juga tidak membuahkan hasil, karena negara peserta yang langsung berkepentingan dan menaruh perhatian pada masalah tersebut jumlahnya sangat kecil jumlahnya. Walaupun tidak ada keputusan mengenai konsep negara kepulauan, pemerintah akhirnya tetap pada kebijakan yang digariskan dalam Deklarasi Djuanda tersebut.
UU No. 4/Prp Tahun 1960 Tentang Perairan Indonesia
Setelah mengalami penundaan lebih dari 2 tahun, maka akhirnya pengaturan perairan Indonesia yang dasar-dasarnya telah ditetapkan dalam Deklarasi Djuanda ditetapkan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia .
Asas-asas pokok konsep nusantara dalam uu tersebut:
a. Untuk kesatuan bangsa, integritas wilayah dan kesatuan ekonomi, maka ditarik GPL yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar;
b. Negara berdaulat atas segala perairan yang terletak dalam GPL, termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya maupun ruang udara di atasnya, dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya;
c. Jalur laut wilayah selebar 12 mil diukur terhitung dari GPL;
d. HLD kapal asing melalui perairan nusantara dijamin, selama tidak merugikan kepentingan negara pantai dan mengganggu keamanan dan ketertibannya.
Penggunaan GPL berakibat:
a) Terjadinya jalur wilayah yang melingkari kepulauan Indonesia;
b) Perairan yang terletak pada sisi dalam GPL berubah statusnya dari laut teritorial atau laut lepas menjadi perairan pedalaman;
c) Bertambahnya luas wilayah Indonesia yang semula 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km².
PP No. 8 Tahun 1962 Tentang Lalu Lintas Damai Kendaraan Air Asing
• Ditetapkan tanggal 28 Juli 1962
• Pasal 2: pengertian lintas laut damai yaitu pelayaran untuk maksud damai yang melintas laut wilayah dan perairan pedalaman Indonesia dari laut bebas ke suatu pelabuhan Indonesia dan sebaliknya, dari laut bebas ke laut bebas.
• Pasal 3: lalu lintas kapal asing dianggap damai selama tidak bertentangan dengan keamanan, ketertiban umum kepentingan dan/atau tidak mengganggu perdamaian Negara RI.
• Presiden RI dapat melarang untuk sementara waktu lalu lintas damai kendaraan air asing di bagian-bagian tertentu dari perairan Indonesia, apabila dianggap perlu untuk menjamin kedaulatan dan keselamatan negara.
• Memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur lintas damai kapal jenis khusus : (1) kapal penelitian, (2) kapal nelayan, dan (3) kapal-kapal perang dan kapal pemerintah yang bukan kapal niaga.
• Adanya alur-alur pelayaran yang diperuntukkan bagi kapal-kapal perang (dan kapal pemerintah non niaga) dan kapal-kapal nelayan.
• Kapal-kapal perang asing yang melalui alur-alaur pelayaran tidak perlu memenuhi syarat pemberitahuan yang berlaku bagi lintas damai di perairan nusantara.
Pengumuman Pemerintah Tentang Landas Kontinen Indonesia
• Diumumkan tanggal 17 Februari 1969.
• Memuat pokok-pokok:
o Segala sumber kekayaan alam yang terdapat dalam landas kontinen Indonesia adalah milik eksklusif Indonesia;
o Pemerintah indonesia bersedia menyelesaikan soal garis batas landas kontinen dengan negara tetangga melalui perundingan ;
o Jika tidak ada perjanjian garis batas, maka batas landas kontinen Indonesia adalah suatu garis yang ditarik di tengah-tengah antara pulau terluar Indonesia dengan titik terluar wilayah negara tetangga.
o Klaim tersebut tidak akan memengaruhisifat serta status perairan di atas landas kontinen Indonesia maupun ruan udara di atasnya.
Setelah melalui perjuangan yang penjang, deklarasi ini pada tahun 1982 akhirnya dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya delarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.
Pada tahun 1999, Presiden Soeharto mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara. Penetapan hari ini dipertegas dengan terbitnya Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001, sehingga tanggal 13 Desember resmi menjadi hari perayaan nasional.
2. Batas Maritim NKRI
DALAM suatu negara, wilayah adalah salah satu unsur utama, selain dari dua unsur lainnya, yaitu rakyat dan pemerintah. Oleh karena itu, adanya wilayah dalam suatu negara ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Suatu negara yang punya sistem pemerintahan negara yang beberapa kewenangannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah, wilayah pemerintahan daerah juga ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam UUD 1945 yang asli tidak tercatum pasal mengenai "Wilayah Negara Republik Indonesia". Namun demikian, pada umumnya kita sepakat bahwa ketika para pendiri negara ini memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, wilayah negara Republik Indonesia punya cakupan wilayah Hindia Belanda. Oleh karena itu, wilayah negara Republik Indonesia merupakan wilayah yang mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teriroriale Zeen en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939), pulau-pulau di wilayah ini dipisahkan oleh laut di sekelilingnya. Dalam ordonansi ini setiap pulau hanya punya laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing dengan leluasa dapat melayari laut yang mengelilingi atau yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Pemerintah Indonesia menyadari bahwa sebagai kesatuan wilayah Indonesia hal ini sangat merugikan bangsa Indonesia sehingga pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah Indonesia yang waktu itu dipimpin oleh Ir. Djuanda mengeluarkan pengumuman pemerintah yang dikenal dengan Deklarasi Djuanda yang menyatakan bahwa negara Republik Indonesia merupakan negara kepulauan (Archipelagic State). Pada dasarnya konsep deklarasi ini menyatakan bahwa semua laut/perairan di antara pulau-pulau Indonesia tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena laut antarpulau merupakan laut penghubung dan satu kesatuan dengan pulau-pulau tersebut.
Batas wilayah negara Indonesia adalah 12 mil dari garis pantai pulau-pulau terluar. Indonesia punya wewenang untuk mengelola daerah kedaulatannya yang punya batas wilayah 12 mil dari garis pantai pulau-pulau terluar tersebut. Termasuk kewenangan ini ruang udara di atasnya, dasar laut (sea bed) dan tanah di bawah dasar laut (sub soil), serta semua sumber daya maritim baik yang hidup maupun yang tidak. Tanggal 13 Desember 1957 ini kemudian menjadi tonggak sejarah Kelautan Indonesia yang kemudian dikenal dengan Wawasan Nusantara. Deklarasi ini diratifikasi melalui UU No. 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia.
Bangsa Indonesia patut bangga karena berasal dari Deklarasi Djuanda tersebut, sebagian besar hasil perjuangan bangsa Indonesia mengenai hukum laut internasional tercantum dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang dikenal dengan United Nations Convension on the Law of the Sea (UNCLOS) yang ketiga tahun 1982 yang selanjutnya disebut Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Pemerintah Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 1985.
Upaya mencantumkan Wilayah Negara Republik Indonesia dalam UUD 1945 diawali dari perubahan kedua dan terus berlanjut sampai pada perubahan keempat UUD 1945. Maka, dalam Bab IX A tentang Wilayah Negara pada Pasal 25A tercantum Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.
"Negara kepulauan berciri Nusantara" punya arti bahwa negara kepulauan yang dimaksud terletak di antara dua benua dan dua samudra, Benua Asia dan Australia, serta Samudra Hindia dan Pasifik. Jadi, pernyataan "sebuah negara kepulauan yang beciri Nusantara dan berbentuk negara kesatuan dan republik" sudah menunjukkan di mana lokasi geografis negara kesatuan yang berbentuk republik itu yang lengkapnya disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya dalam pasal tersebut dinyatakan "dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang". Pernyataan ini punya makna bahwa NKRI yang merupakan negara kepulauan wajib menetapkan batas teritorial wilayahnya baik wilayah darat dan laut.
Batas dan hak wilayah laut menurut UNCLOS 1982
Karena NKRI merupakan negara kepulauan, batas di wilayah laut mengacu kepada UNCLOS 82 yang telah diratifikasi dengan UU No. 17 Tahun 1985. Oleh karena itu, Indonesia harus mengkaji dan menetapkan antara lain batas laut teritorial, batas zona tambahan (contiguous zone), batas zona ekonomi ekslusif (ZEE), batas landas kontinen (continental shelf).
Hak-hak, kewajiban, dan wewenang di dalam batas teritorial wilayah laut NKRI akan berbeda dengan hak-hak dan wewenang di luar batas teritorial, tetapi terletak di dalam batas ZEE dan batas landas kontinen. Berdasarkan UNCLOS, batas laut teritorial sejauh maksimum 12 mil laut dari garis pantai, sedangkan garis pantai didefinisikan sebagai muka laut terendah. Jika dua negara bertetangga punya jarak antara garis pantainya kurang dari 24 mil laut, batas teritorial antardua negara tersebut adalah garis median. Garis median yaitu garis yang punya jarak yang sama (equidistance) dengan garis pantai dari negara bertetangga tersebut. Sementara itu, yang dimaksud dengan panjang 1 mil laut sama dengan 1852 meter. Dalam wilayah laut teritorial berlaku hak-hak dan kewajiban dalam wilayah kedaulatan NKRI.
Batas laut teritorial diukur berdasarkan garis pangkal yang menghubungkan titik-titik dasar bertempat di pantai terluar dari pulau-pulau terluar wilayah NKRI. Pengukuran ini merupakan aspek teknis yang dilakukan oleh tenaga ahli geodesi yang mengerti tentang aspek legal dari penetapan batas. Jadi, dalam penetapan batas sangat diperlukan keterpaduan aspek teknis dan legal. Untuk mendukung hal itu, sangat diperlukan informasi kewilayahan NKRI seperti informasi pulau-pulau terluar beserta nama-namanya.
Dapat dipahami bahwa UUD 1945 (asli) yang dikeluarkan setelah proklamasi kemerdekaan belumlah sempurna, seperti belum tercantumnya wilayah negara. Kira-kira lima tahun bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan sehingga tahun 1950 mulailah bangsa Indonesia menata negara dengan sistem pemerintahan yang disepakati pada waktu itu. Setelah tujuh tahun bangsa hidup dalam penataan negara secara normal, berdampingan, sejajar, dan sama tinggi dengan negara-negara lain barulah satu tonggak sejarah tentang wilayah negara diumumkan, yaitu pada tanggal 13 Desember 1957. Setelah 46 tahun Deklarasi Djuanda itu sudah sejauh mana Indonesia dapat menyelesaikan batas-batas di laut terutama batas laut teritorial.
Dinamika penetapan batas wilayah negara
Dinamika penetapan batas wilayah negara perlu kita simak. Deklarasi Djuanda diratifikasi melalui UU No. 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Dalam UU ini dicantumkan koordinat geografis titik-titik dasar pantai terluar dari pulau terluar di wilayah negara. Pulau-pulau Sipadan (kl. 10,4 ha) dan Ligitan (kl. 7,9 ha) tidak termasuk daftar pulau terluar. Pada tanggal 8 Agustus 1996 diterbitkan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang isinya sangat umum, yaitu menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan UNCLOS 82 (yang telah diratifikasi dengan UU No. 17 Tahun 1985 dan menyatakan bahwa UU No. 4/PRP/1960 tentang Perairan tidak berlaku lagi. Daftar koordinat titik-titik dasar pantai terluar dari pulau terluar tidak tercantum dalam UU No. 6 Tahun 1996 ini.
Jadi, secara legal, wilayah negara menjadi tidak jelas. Pada tanggal 16 Juni 1998 dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1998 tentang Koordinat Geografis Titik Dasar Kepulauan di Laut Nusantara. Dengan menganggap bahwa semua titik pangkal lengkap dengan koordinat geografisnya yang tercantum pada Undang-Undang No. 4/PRP/1960 masih berlaku, artinya semangat Deklarasi Djuanda yang menjiwai UU No. 4/PRP/1960, PP No. 61 Tahun 1998 ini adalah upaya bangsa Indonesia menutup kantong Natuna yang masih terdapat dalam UU No. 4/PRP/1960. Pada tanggal 28 Juni 2002 keluar PP No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Dalam PP No. 38/2002 ini dicantumkan titik pangkal di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Dengan keluarnya keputusan Mahkamah Internasional tentang kasus Sipadan dan Ligitan, PP No. 38/2002 ini perlu dicabut dan segera diganti dengan yang baru.
Hal mengenai wilayah negara tercantum pada UUD 1945 pada perubahan kedua UUD 1945 Bab IX A pasal 25E yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000 yang kemudian berubah menjadi pasal 25 A pada perubahan keempat UUD 1945 yang ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 yang bunyinya sudah disampaikan di awal tulisan ini.
Tabel 1. Perjanjian Penetapan Landas Kontinen
Negara Materi Tanda tangan Berlaku
Malaysia Penetapan garis batas landas kontinen di Selat Malaka dan Laut China Selatan. Kuala Lumpur 27 Oktober 1969 7 November 1969
Thailand Penetapan garis batas landas kontinen di Selat Malaka dan Laut Andaman. Bangkok 17 Desember 1971 7 April 1972
Malaysia-Thailand Penetapan garis batas landas kontinen di Selat Malaka (bagian utara) Kuala Lumpur 21 Desember 1971 16 Juli 1973
Australia Penetapan garis batas dasar laut Arafuru dan Daerah Utara Irian Jaya-Papua Nugini. Canberra 18 Mei 1971 18 November 1973
Australia Penetapan garis batas dasar laut Selatan P Tanimbar dan P Timor Jakarta 9 Oktober 1973 8 November 1973
India Penetapan garis batas landas kontinen 8 Agustus 1974
15 Januari 1977
Tabel 2. Perjanjian Penetapan Garis Batas Laut Wilayah
Negara Materi Tanda tangan Berlaku
Malaysia Penetapan garis batas laut wilayah kedua negara di Selat Malaka 17 Maret 1970
Singapura Penetapan garis batas laut wilayah kedua negara. Jakarta 25 Mei 1973 30 Agustus 1974
Papua Nugini Penetapan garis batas laut wilayah 1973